PENGERTIAN HUKUM TANAH
- 01 December 2021
Hukum Tanah mengatur segi tertentu dari tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Atas Tanah (HPAT). Segi-segi lain, seperti bagaimana menggunakan tanah atau bagaimana mewariskan tanah tidak tunduk pada Hukum Tanah, melainkan tunduk pada hukum lain, dalam hal ini: (a) Cara penggunaan tanah tunduk pada Hukum Tata Guna Tanah sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan/atau Hukum Tata Lingkungan, serta (b) Cara mewariskan tanah tunduk pada Hukum Waris.
Politik hukumnya, hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauh mungkin diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a. hukum tertulis, yang meliputi:
1) Pasal 33 UUD 1945;
2) UUPA;
3) Peraturan-peraturan pelaksanaan;
4) Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b. Hukum yang tidak tertulis, yang meliputi:
1) Hukum Adat yang sudah disaneer;
2) Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah. Secara yuridis, “berbuat sesuatu” yang dimaksud tersebut dapat berisi kewenangan privat, publik atau bahkan dapat sekaligus kewenangan publik dan privat. Tegasnya, pengertian penguasaan yang dimaksud dalam HPAT berisi kewenangan yang luas, tidak sekedar berisi kewenangan hak untuk menggunakan dan atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang merupakan kewenangan perdata. Dalam pada itu, HPAT lebih luas daripada Hak Atas Tanah (HAT).
Untuk lebih mengefektifkan studi Hukum Agraria/Tanah, Boedi Harsono yang pertama kali menyatakan bahwa ketika mempelajari Hukum Agraria/Tanah perlu dilakukan dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit. Dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. Selain itu, dengan sistematika sebagai lembaga hukum dan hubungan konkrit tersebut ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun, dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan.4 Bagi penulis, pendekatan sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit tersebut dalam studi Hukum Agraria/Tanah itulah yang membuat Bapak Prof. Boedi Harsono layak disebut sebagai ‘Bapak Hukum Agraria Indonesia’. Dengan pendekatan seperti itu, orang-orang dimudahkan untuk melakukan studi Hukum Agraria/Tanah.
a. Sebagai lembaga hukum
HPAT merupakan lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagaipemegang haknya (Pasal 20-45 UUPA) Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum:
1) Mengatur nama/penyebutan pada hak penguasaan tersebut;
2) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
3) Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
4) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b. Sebagai hubungan hukum konkrit
HPAT merupakan hubungan hukum konkrit (biasanya disebut ‘hak’), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Contohnya adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam Ketentuan Konversi UUPA. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkrit mengatur mengenai hal-hal:
1) Penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan di atas;
2) Pembebanannya dengan hak-hak lain;
3) Pemindahannya kepada pihak lain;
4) Hapusnya;
5) Pembuktiannya.
Lingkup studi dari Hukum Tanah ini dapat dilihat dari tata jenjang atau hierarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yang meliputi:
1) Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1 UUPA sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang beraspek perdata dan publik;
2) Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA sebagai hak penguasaan yang semata-mata mengandung aspek publik;
3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, yang beraspek perdata dan publik;
4) Hak-hak perorangan/individual, yang semuanya berunsur perdata, terdiri atas:
- Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;
- Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49 UUPA;
- Hak Jaminan atas Tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA serta UU No. 4 Tahun 1996;
- HMRS
Oleh karena, Hak Bangsa merupakan Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) yang tertinggi di Indonesia, maka semua HPAT lainnya bersumberkan dari Hak Bangsa sebagai kekayaan bersama dari seluruh Bangsa Indonesia. Salah satu implikasinya, semua hak atas tanah pun harus berfungsi sosial.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office