Hukum perkawinan Islam di Indonesia
- 17 May 2022
Indonesia telah memiliki undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia, yaitu UU Perkawinan. Sebelum diberlakukannya UU Perkawinan ini, Indonesia telah memberlakukan peraturan-peraturan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata (BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonansi voor de Christens Indonesiers) Staatsblaad 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken), Staatsblaad 1898 No. 158. Selain itu, diberlakukan juga Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) dalam lembaran negara 1954 No.32 serta peraturan Menteri Agama mengenai pelaksanaannya. Undang-Undang Pencatatan NTR hanya mengenaii teknis pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat islam, sedangkan praktek hukum nikah, talak, dan rujuk pada umumnya menganut ketentuan-ketentuan fiqh mazhab Syafi’i (Hamid Sarong, 2010: 24-25).
Agama Islam di nusantara sudah ada sebelum penjajahan belanda datang ke nusantara, sehingga dimana masyarakat islam berada, disitu sudah berlaku hukum islam, meskipun dalam lingkup masyarakat yang jumlahnya masih sangat minim. Dibeberapa kerajaan Nusantara waktu itu, hukum islam diakui dan dianut oleh masyarakat, seperti disumatera terdapat Kerajaan Sultan Pasai di Aceh serta Kerajaan Pagar Ruyung dan Kerajaan Paderi kedua-duanya di Minang Kabau. Di Jawa terdapat Kerajaan Demak, Mataram, dan Sultan Agung: di Makassar terdapat Kerajaan Hasanuddin: dan sebagainya, bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunai Darussalam) di semenangjung Melayu (Idris Ramuliyo, 1997:49).
Pada Zaman VOC eksistensi Hukum Keluarga Islam telah diakui dan berlaku dalam masyarakat dan diakui pula oleh kerajaan-kerajaan islam yang kemudian dihimpun dalam Kitab Hukum Islam, yang dikenal dengan Kompedium Freijen. Kitab Hukum Islam tersebut berisi aturan- aturan Hukum Keluarga, perkawinan, dan kewarisan islam yang ditetapkan agar diterapkan oleh Pengadilan VOC. Selain itu, dibuat pula himpunan hukum keluarga, perkawinan dan kewarisan islam untuk daerah-daerah Cirebon, semarang dan Makasar. (Arso Sosroatmodjo dan Alwi A. Wasit, 1978:11).
Sudah menjadi fakta sejarah, sebelum pemerintah kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara pada waktu itu, manyoritas penduduk telah menganut agama islam. Atas dasar fakta tersebut tak dapat dimungkiri apabila di Nusantara pada waktu itu telah terbentuk kelompok masyarakat islam yang besar dan kuat. Di beberapa daerah di Hindia Belanda (kini Indonesia), islam bukan saja merupakan agama resmi karena diakui kerajaan-kerajaan di Nusantara, bahkan akhirnya hukum keluarga yang berlaku di Hindia Belanda telah mengakui nilai-nilai islam yang kemudian diadopsi dalam perundang- undangan Hindia Belanda. (Abdurkadir Muhammad, 2010:58).
Walaupun sudah berabad-abad hukum Islam itu dianut oleh masyarakat islam di Nusantara yang secara terus menerus diperjuangkan oleh umat islam, namun dengan berlakunya Hukum Barat yang dibawa dari Negeri Belanda di berlakukan di Nusantara dalam menunjang dan memperkuat kristenisasi tidak mampu menghilangkan semangat masyarakat islam di Nusantara untuk memperkuat hukum islam. Atas dasar keyakinan yang sudah tertanam dalam jiwanya dan dengan penuh semangat mempertahankan agama islam dan hukum keluarga islam tetap kokoh ditengah-tengah masyarakat di Nusantara ini.
Dalam rangka menghadapi perkembangan hukum keluarga Islam di Hindia Belanda, semula pemerintah Kolonial Belanda merumuskan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC bahwa mereka tidak menganggap hukum islam itu sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan pemeritah kolonial Belanda. Akan tetapi kondidsi seperti ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu panjang sebab pemerintah kolonial Belanda mengubah pendirian ini sebagai akibat usul Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. (Abdul Manan, 2006: xii).
Snouck Hurgronje mengajukan teori baru, karena teori yang berlaku saat itu dianggap sebagai teori yang keliru dalam kehidupan masyarakat. Menurut Snouck Hurgronje teori yang lebih tepat untuk digunakan dalam masyarakat adalah teori resepsi (receptie theori). Menurut teori tersebut hukum yang berlaku dalam realitas masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum islam baru dapat diberlakukan apabila sudah beradaptasi dengan hukum adat. Teori resepsi ini didukung oleh Van Vollen Hoven dan Ter Haar. (Abdul Manan, 2006: xii).
Akibat pemberlakuan teori resepsi ini dalam masyarakat Hindia Belanda waktu itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb. Nomor 116 dan Nomor 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru yang membatasi kewenangan Peradilan Agama. Pembatasan kewenangan peradilan agama tersebut berdampak penghambatan atau penghentian pengembangan hukum keluarga islam dalam masyarakat. Teori resepsi ini berlaku terus di Hindia Belanda (kini indonesia) sampai kurun waktu 1970. Bahkan hingga kini masih ada beberapa ahli hukum indonesia menganut teori ini. (abdulkadir Muhammad, 2010: 60).
Satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan indonesia, keadaan mulai berubah akibat perkembangan masyarakat yang semakin maju untuk menyesuaikan hukum yang berlaku dengan kondisi indonesia merdeka termasuk juga hukum islam. Pada tanggal 22 Nopember di undangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk sebagai dasar hukum keluarga islam. (Abdul Manan, 2006: xiv).
Berdasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak dan rujuk yang diatur dalam Ordonansi Perkawinan Stb. Nomor 348 Tahun 1929 Jo. Stb. 467 Tahun 1931, Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1933 Nomor 98, tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada. Sementara itu, untuk membuat Undang-undang baru tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat. Setelah diundangkannya Undang- undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk, segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran nikah, talak dan rujuk dan peradilan agama. Karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, dengan semangat kemerdekaan perlu adanya kesatuan hukum yang berlaku secara nasional. Pada tanggal 26 Oktober 1954 dikeluarkan peraturan Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah di luar Jawa dan Madura. (Abdulkadir Muhammad, 2010: 63-64).
Upaya untuk melahirkan Hukum Perkawinan dan perceraian terutama bagi umat islam yang refresentatif dan bersifat unifikasi hukum terus dilakukan, maka pada akhir tahun 1950 dengan Surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang di ketuai Oleh Teuku Moh. Hasan. Namun panitia ini tidak dapat bekerja maksimal, karena kesibukannya mempertahankan kemerdekaan, maka pada tanggal 1 April 1951 dibentuk panitia baru yang diketuai oleh H. Moh. Noer Poerwosoetjipto yang disebut dengan panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang disingkat dengan NTR. Panitia ini telah berhasil menyelesaikan dua Rancangan Undang-undang Perkawinan, yaitu:
- Rancangan Undang-undang Pokok Perkawinan yang dijadikan Hukum Umum bagi seluruh rakyat indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1952.
- Rancangan Undang-undang Pernikahan Umat Islam, yang berlaku bagi umat Islam di seluruh wilayah Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1954.
Setelah dilakukan berbagai pedebatan dalam sidang-sidang DPR, maka pada tanggal 2 Januari 1974 undang-undang tersebut diundangkan sebagai undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Lembaran Negara Reepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 Tahun 1974. Sejarah mencatat bahwa proses melahirkan Undang-undang Perkawinan telah menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu sejak tahun 1950 sampai disahkan menjadi Undang-undang Perkawinan pada akhir tahun 1973 yang telah memakan waktu selama 23 (dua puluh tiga) tahun.
Oleh karena UU Perkawinan yang dilahirkan bertujuan untuk mengakhiri berlakunya hukum peninggalan kolonial belanda di Indonesia yang pluralistik dalam bidang perkawinan menuju pada unifikasi hukum yang harus berlaku bagi semua warga negara Indonesia , maka hukum perkawinan yang dilahirkan tidak hanya menyerap aspirasi dari hukum islam, melainkan juga harus menyerap aspirasi dari agama lain selain dari islam. Sehingga UU perkawinan sebagai hasil kompilasi dari berbagai ketentuan hukum menjadi satu UU perkawinan, dengan demikian UU perkawinan meskipun dari segi bentuknya sudah unifikasi hukum, namun dari segi isinya juga terjadi pluralisme hukum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di indonesia.
Dalam keadaan yang demikianlah yang membuat masyarakat islam menghendaki UU Perkawinan tersendiri yang khusus berlaku bagi masyarakat islam dengan mengadopsi syariat islam. Selain dari itu terdapat pandangan bahwa kenyataannya umat islam di Indonesia sebagai anggota masyarakat yang besar jumlahnya, maka perlu mendapat perhatiannya (Jamaluddin, 2009:74). Maka dari itu, lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini menunjukakan isi dari Kompilasi Hukum Islam masih mengakui pluralisme dalam hukum perkawinan di indonesi. Namun dapat ditegaskan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum perkawinan Islam, sedangkan bagi agama selain islam berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam agamanya. Dalam Hukum perkawinan islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki setelah dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum islam. Dengan dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat) sebagai syarat sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum islam di Indonesia bukan lagi berdasarkan kepada teori resepsi, melainkan langsung berdasarkan kepada UU Perkawinan. Dengan demikian, pelaksanaan Hukum Perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung jawab pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk ikut mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan Hukum perkawinan Islam itu tidak disalah gunakan (Taufiqurrohman Syahuri, 2013: 23).
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan