Hukum Agraria Di Era Reformasi
- 26 January 2022
Era reformasi menghendaki perubahan-perubahan, termasuk di dalamnya perubahan di bidang hukum, lebih khusus di bidang hukum agraria atau pertanahan. Tuntutan reformasi di bidang hukum agraria terus bergulir dan terus dilakukan oleh masyarakat, namun pemerintah hingga sampai saat ini masih mempertahankan keberlakuan UUPA tersebut dengan melakukan upaya penyesuaian dengan kondisi yang berkembang di era reformasi sekarang ini.
Hukum Agraria di Era Reformasi ini masih berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 18B UUD 1945 hasil amandemen tentang eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya adalah UUPA sebagai hukum khusus yang mengatur agraria, namun diupayakan untuk dilakukan perubahan-perubahan dengan lahirnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Hukum Tanah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Adapun aturan-aturan hukum yang menjadi dasar hukum pem- bangunan dan pembaruan hukum agraria yang berlaku pada masa ini adalah:
1. UUD 1945 hasil amandemen yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan ketentuan Pasal 33 ayat (3).
2. UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan peraturan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan kondisi sekarang;
3. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini lahir karena adanya tuntutan reformasi di segala aspek pembangunan dan hukum dan Era Globalisasi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Dalam Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, konsiderans menimbang mengatakan:
1. bahwa sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;
2. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial- ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam;
3. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;
5. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;
6. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan;
7. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Menurut Winardi (Winardi, 2001:63) pembaruan Agraria (agrarian reform) dalam arti restrukturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada zaman dan negara tempat terjadi pembaruan agraria tersebut.
Sumber Bacaan Buku Hukum Agraria Indonesia Karya Dr. H.M. Abra, S.H., M.Hum