PERKEMBANGAN HUKUM MEREK DI INDONESIA
- 27 July 2021
HKI adalah sebuah bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta. Manakala suatu produk dengan Merek tertentu menjadi sangat meningkat hasil penjualannya, produsen lainnya akan berlomba meningkatkan kualitas barangnya. Inilah yang dimaksud dengan teori dorongan, bahwa HKI khususnya Merek dapat mendorong produsen lain untuk bersama-sama memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi dalam bisnisnya. Orang yang menciptakan Merek atas suatu barang dan atau jasa melakukan hal tersebut untuk mencari nafkah. Jika orang lain bebas untuk meniru dan menjual Merek mereka, mereka mungkin tidak mendapat uang dari Merek mereka, atau paling tidak cukup untuk mengganti waktu dan uang yang telah mereka keluarkan. Jika tidak dijamin oleh perlindungan bagi pemegang Merek, para pencipta memutuskan untuk tidak membuat Merek. Periodisasi Hukum Merek di Indonesia. Secara garis besar, pengaturan Merek di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: masa kolonialisme belanda, masa sebelum berlakunya Persetujuan TRIPs, dan masa setelah berlakunya Persetujuan TRIPs.
Pada masa kolonialisme Belanda, peraturan Merek yang berlaku adalah Reglement Industrieële Eigendom (Reglemen tentang Hak Milik Perindustrian) tahun 1912, S. 1912 Nomor 545 yang mulai berlaku sejak tahun 1913. Pengaturan tentang Hak Milik Perindustrian ini mengikuti pada umumnya peraturan tentang Merek dan hak milik industri yang berlaku di Nederland. Ketentuan ini diberlakukan untuk wilayah-wilayah antara lain: Indonesia, Suriname dan Curacao. Penyusunan peraturan ini mengikuti sistem Undang-undang Merek Belanda dan menerapkan sistem konkordansi yaitu ketentuanketentuan peraturan perundangundangan yang diberlakukan untuk diterapkan pada negara jajahan Belanda. Ketentuan ini terdiri atas 27 pasal. Beberapa ketentuan penting antara lain: jangka waktu perlindungan Merek adalah 20 tahun6 , menganut sistem deklaratif dalam perlindungan Merek.
Sebagaimana yang terjadi pada perubahan undang-undang Merek sebelumnya yang terjadi akibat penyesuaian dengan perjanjian internasional seperti Konvensi Paris pada UUM 1992, hal yang sama terjadi pula pada masa setelah berlakunya persetujuan TRIPs. Hukum Internasional dan hukum nasional tidak dapat dipisahkan menjadi dua sistem yang berbeda, terlepas berbagai pendapat mengenai aliran monisme ataukah dualisme dalam hubungan diantara keduanya.18 Hukum Internasional mempengaruhi sistem hukum nasional, begitupun sebaliknya. Ada kalanya hukum internasional lebih diutamakan tetapi dalam beberapa hal, hukum nasional dianggap lebih unggul. Pasca Agreement on TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) Setelah Indonesia menjadi anggota WTO melalui ratifikasi Agreement Estabishing of WTO dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia secara sah ikut dalam persetujuan TRIPs.
picture credit to google.com and belong to the owner