Tanah-tanah dengan Hak Adat
- 12 December 2021
Pada umumnya, hak adat atas tanah secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni: hak menguasai dari desa atas tanah (beschikkingsrecht) dan hak-hak individual atas tanah yang terdiri atas hak yang kuat dan turuntemurun yakni Hak Milik dan hak yang tidak kuat, seperti “Hak Pakai”. Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa hak rakyat yang terpenting di Jawa dan Madura adalah hak milik. Tanah yang di atasnya ada hak miliknya itu di Jawa dan Madura disebut tanah yasan atau tanah milik. Hak Milik (Indlands Bezitsrecht) ini adalah hak untuk memperlakukan suatu benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri, seperti memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah dan hak menjual, menggadaikan, atau menghibahkan kepada orang lain. Namun demikian, tetap ada pembatasan-pembatasan terhadap hak milik ini, seperti: (1) larangan penjualan tanah sebagaimana diatur dalam S. 1875 No. 179; (2) kewajiban menghormati hak menguasai dari desa (hak ulayat) selama hak milik itu masih diliputi oleh hak menguasai; (c) kewajiban menghormati kepentingan pemilik-pemilik lainnya; dan (d) kewajiban untuk mentaati dan menghormati ketentuanketentuan dalam hukum adat yang berhubungan dengan pemilik-pemilik tanah. Hak milik (Indlands Bezitsrecht) atas tanah ini dapat dibagi 2 (dua), yakni hak milik perseorangan (Erfelijk Individueel Bezitsrecht) dan hak milik komunal atau hak milik desa yaitu hak milik dari persekutuan hukum. Isi dari kedua hak milik itu sama, bedanya hanya terletak pada pemegangnya, yang satu perseorangan, sedang yang lain adalah persekutuan hukum.
Hak Milik Perseorangan (Erfelijk Individueel Bezitsrecht) ini terdapat di daerah Jawa Barat, beberapa di Jawa Tengah, Jawa Timur di daerah-daerah yang penduduknya berasal dari Madura dan di Madura. Tanah Hak Milik Perseorangan ini biasanya diperoleh dengan membuka tanah liar (kosong). Menurut Ontginnings Ordonnantie - sebagaimana dimuat dalam S. 1925 No. 649 jo S. 1928 No. 340, S. 1931 No. 168 dan S. 1931 No. 423 (untuk Jawa dan Madura) dan dalam Agrarische Reglementen (untuk Lombok, Sumatera Barat, Menado, Riau dan Bengkalis) - , tiap orang Indonesia yang berasal dari mana saja boleh dengan ijin Gubernur membuka tanah negara yang bebas (Vrij Lands Domein). Jika pemegang ijin itu meninggal maka ahli warisnya berhak membuka atau melanjutkan pembukaan tanah. Ijin itu dapat dioperkan kepada orang lain, kecuali pada bangsa asing.
Hak Milik Komunal ini terdapat di Jawa Tengah, tetapi bercampur dengan Hak Milik Perseorangan. Di Jawa Barat dan daerah luar Jawa Madura Hak Milik Komunal ini tidak ada. Untuk tanah yang di atasnya ada Hak Milik Komunalnya terdapat bermacam-macam istilah, seperti: sawah desa (Cirebon, Kedu, Tegal, Pekalongan), playangan (Banyumas), sanggan (Bagelen), norowito, sewon, jung, bakon (Jepara), kramanan, ideran, bagen, rojo, kongsen (Rembang) dan sebagainya. Di atas Hak Milik Komunal ini dikenal 2 (dua) macam pembagian tanah, yakni: (1) Hak Milik Komunal dengan bagian-bagian tanah yang tetap; dan (2) Hak Milik Komunal dengan bagian-bagian tanah yang tiap waktu dibaharui. Dalam hal yang pertama maka bagian-bagian tanahnya maupun orang-orangnya tetap. Gogol, yaitu orang yang mendapat bagian tanah itu, mengerjakan tanah selama hidupnya atau selama ia menjadi penduduk desa. Kalau ia mati atau meninggalkan desa, maka tanahnya kembali pada desa. Dalam hal kedua, maka pembagian itu berlangsung 1, 3, 5, atau 7 tahun sekali. Di sini ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu pembagiannya tetap tetapi ditukar-tukar.
Dalam perkembangannya, pranata HMK ingin diubah atau diganti/dikonversi menjadi HMP, sebab HMK sering disalahgunakan dan mengurangi motivasi untuk mengerjakan tanah secara sungguh-sungguh karena tidak ada jaminan untuk mengerjakan tanah untuk waktu yang lama. Konversi itu diatur dalam S. 1885 No. 102. Syarat-syarat untuk melakukan perubahan HMK menjadi HMP itu adalah: (1) sekurang-kurangnya ¾ dari mereka yang berhak memakai tanah menghendaki perubahan itu dan menyetujui cara pembangiannya; (2) tiap orang yang berhak memakai tanah komunal menerima bagian dari tanah itu dengan HMP; (3) dari tanah komunal sebagian baik tetap maupun berganti-ganti dipakai sebagai tanah jabatan (bengkok) untuk keperluan itu dikeluarkan dari pembagian tanah seluas tidak kurang dari tujuan itu setelah dikurangi dengan bagian sendiri. Kenyataannya, hak konversi sebagaimana diatur S. 1885 No. 102 ini jarang dipergunakan karena tidak selaras dengan Hukum Adat.
Selain dengan jalan konversi sebagaiman diatur dalam S. 1885 No. 102, cara mendapatkan Hak Milik dapat dilakukan dengan cara: (1) pembukaan tanah, (2) pemberian oleh Pemerintah, dan (3) pernyataan Peraturan-peraturan. Dilihat dari cara terjadinya, pembukaan tanah merupakan cara terjadinya Hak Milik yang sesuai dengan Hukum Adat.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014