ILMU HUKUM DAN HAKIM; MENALAR SECARA YURIDIKAL
- 15 January 2022
Hukum mengembangkan diri oleh suatu kerja-sama yang kompleks antara pembentuk undang- undang, hakim dan Ilmu Hukum. Tentang relasi antara Ilmu Hukum dan perundang-undangan banyak yang dapat dikatakan, namun hal itu akan melampaui batas-batas ruang (bestek) dari buku ini. Marilah kita, dengan Scholten, hanya mengandaikan bahwa pembentuk undang- undang sendiri memberikan kontribusi pada pembentukan pengertian dalam hukum (Ilmu Hukum adalah “seringkali tidak lain ketimbang kelanjutan dari pembentukan pengertian yang sudah dimulai oleh pembentuk undang-undang itu sendiri”), namun juga selalu mengambil alih pengertian-pengertian dari ilmu dan bekerja dengannya.
Kita akan melangkah sedikit lebih jauh ke dalam relasi antara Ilmu Hukum dan hakim. Juga di sini terjadi hubungan saling mempengaruhi yang berlangsung terus menerus. Ilmu Hukum menyajikan (menyodorkan) kepada hakim berbagai kemungkinan penyelesaian masalah; dan ilmuwan hukum secara konstan menyibukkan diri dengan (mengkaji) putusan-putusan dari hakim, yang dengan itu jalan-jalan baru dikembangkan. Perbedaan antara pembentukan hukum secara ilmiah bidang ilmu hukum (rechtswetenschappelijke rechtsvorming) dan pembentukan hukum oleh hakim seolah-olah terletak pada tataran institusional.
i. Pada akhirnya Ilmu Hukum harus berupaya agar kesimpulan-kesimpulannya memperoleh pengakuan dari hakim. Sebab, hakimlah yang dalam suatu sengketa yang menetapkan apa hukumnya yang dapat diterapkan, dengan kekuatan mengikat bagi para pihak. Dengan demikian, praktek mengorientasikan diri pada apa yang dapat diharapkan dari hakim berkenaan dengan persoalan penetapan hukumnya (tentang ketentuan hukum): penyelesaian- penyelesaian yang mana yang dikuatkan oleh putusan peradilan, orientasi-orientasi yang mana yang dapat ditelusuri dalam putusan peradilan
ii. Hakim dalam suatu tatanan hukum modern berkewajiban untuk memotivasi (memberikan motivering pada) putusannya: ia harus menautkan putusannya ini pada fakta-fakta yang berdasarkan pandangan yang tepat ditetapkan dalam persidangan, dan diletakkan di atas landasan dari kaidah-kaidah hukum yang diakui dalam tatanan hukumnya yang dipandangnya dapat diterapkan pada kejadian khusus yang tengah dihadapinya. Walaupun ada kewajiban motivering ini, namun argumentasinya biasanya jauh kurang terurai ketimbang argumentasi yang di atasnya ilmuwan hukum mendasarkan kesimpulan-kesimpulannya. Bukankah, hakim mengarahkan diri pada suatu kejadian konkret; ia tidak perlu memberikan perhatian pada semua konsekuensi dari putusannya dalam kaitan dengan yang lebih luas dari sistem hukum. Sebaliknya ilmuwan hukum mengarahkan diri justru pada titik-titik pandang yang lebih umum, seperti penempatan dengan penyesuaian (inpassing) suatu penyelesaian tertentu ke dalam keseluruhan hukum yang berlaku. Jadi, beban pembuktian yang dibebankan pada suatu dalil- ilmiah-bidang-ilmu-hukum adalah beban yang lebih berat. Apa akibat-akibat dari suatu orientasi baru tertentu, dan bagaimana hal ini (orientasi baru tersebut), dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian bermasalah yang dapat diharapkan atau diduga, harus diinterpretasi lebih jauh? Berhadapan dengan putusan dalam kejadian konkret terdapat dialog antar-ilmuwan hukum yang satu dengan yang lainnya yang tidak pernah berhenti. Pembahasan dan pengolahan ilmiah bidang ilmu hukum berkecenderungan ke suatu argumentasi yang seluas mungkin, yang lewat penyebutan semua yurisprudensi (putusan peradilan) yang relevan dan kepustakaan bidang-ilmu-hukum berupaya untuk menemukan suatu tataran pendukung yang sekokoh mungkin.
iii. Namun demikian terdapat cukup contoh putusan-putusan badan kehakiman (di kita ihwalnya terutama berkenaan dengan putusan-putusan dari Hoge Raad) yang, dengan suatu formulasi yang dipertahankan sangat umum, telah menyajikan pembukaan-pembukaan baru untuk perkembangan hukum (lihat hal. 16-17 untuk contoh). Medannya (ranahnya) sering dipersiapkan oleh Ilmu Hukum, dan bagaimana pembukaan (celah) itu harus diisi mewujudkan suatu thema bagi dialog ilmiah-bidang-ilmu-hukum – sedangkan hakim sendiri lebih senang dalam hal pengisian itu untuk bergerak setapak demi setapak. Perlu dikemukakan bahwa hakim dalam kerja-sama dengan Ilmu Hukum telah menambahkan keseluruhan ajaran-ajaran pada hukum positif yang tidak dapat dikembalikan pada kaidah- kaidah yang dipositifkan (yang dapat dibaca dalam undang-undang) dan penilaian-penilaian yang berada di belakangnya, namun yang merupakan akibat pengambil-alihan orientasi- orientasi dari medan kemasyarakatan yang lebih luas. Contoh-contoh tentang hal ini adalah penyalah-gunaan hak, perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (birokrasi pemerintahan), ganti-rugi immaterial, bezitloos pandrecht atau rechtsverwerking (pelepasan hak).
Perbedaan dalam penetapan tugas antara peradilan dan Ilmu Hukum juga berarti: komplementaritas, hubungan saling mempengaruhi, dan dengan itu mengandaikan suatu metodik yang sama. Jika tidak begitu halnya maka hubungan saling mempengaruhi itu akan tidak dapat dijelaskan. Orang beroperasi, dalam konteks yang satu atau dalam konteks yang lainnya, dengan jenis bentuk-bentuk argumentasi yang sama. Ilmuwan hukum membaca, dalam putusan badan kehakiman (meskipun kadang-kadang lewat dugaan-dugaan tentang apa yang telah menggerakkan hakim pada suatu pendirian tertentu), argumen-argumen yang ia olah menjadi lebih produktif atau sebaliknya mengkritiknya; hakim menemukan, dalam kepustakaan ilmiah bidang ilmu hukum, argumen-argumen yang ia (meskipun kadang-kadang tidak diucapkan) letakkan (gunakan) sebagai landasan dari putusannya. Medan berkiprah bersama ini mewujudkan wilayah dari apa yang orang akan dapat menyebutnya menalar secara yuridikal (penalaran hukum, juridisch redenering, legal reasoning). Juga istilah “penemuan hukum” banyak digunakan untuk menunjuk wilayah ini. Hal menalar secara yuridikal ini akan dipaparkan lebih jauh dalam bab tentang metode-metode. Yang fundamental (hakiki) adalah apa yang pernah dikemukakan oleh seorang sosiolog hukum, yakni bahwa dalam kerangka Ilmu-ilmu Manusia, hukum adalah wilayah yang berkenaan dengannya pemberian bentuk oleh suatu disiplin ilmiah terikat pada struktur berpikir dari orang-orang yang membentuk (memunculkan) obyek-telaah dari disiplin ini. Bukankah, jika kita mengajukan bahwa Ilmu Hukum itu mempelajari manusia “sebagai produsen hukum” (hal itu ia lakukan misalnya dengan mempelajari putusan peradilan pada salah satu butirnya), maka studi ini sejauh ini adalah sesuatu yang istimewa, bahwa ia pada waktu bersamaan berada dalam situasi percakapan dengan manusia tersebut tentang apa yang ia harus memproduksi sebagai hukum. Mungkin menjadi sedikit kurang mencolok, jika orang mengingat bahwa ilmuwan hukum juga sering menjabat hakim atau hakim pengganti, atau mimbarnya ditukar dengan kursi jabatan di Hoge Raad. Ilmuwan hukum sejauh ini adalah ... berada dalam percakapan (dalam situasi berwacana) dengan dirinya sendiri.
Sumber bacaan : Buku Filsafat Ilmu Hukum Karya Prof. Dr. H. Ph. Viser’t hooft
sumber picture : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.eipa.eu%
Writer: Admin Sayap Bening Law Office