LEMBAGA KEJAKSAAN SEBAGAI “COSTITUTIONAL IMPORTANCE”
- 07 December 2021
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perdebatan panjang mengenai inde- pendensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia banyak disebabkan karena ketidakjelasan posisi Kejaksaan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam ketentuan UUD 19452, Kejaksaan hanya disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Kenyataan bahwa Kejaksaan tidak termasuk dalam 35 subjek ja- batan yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 yaitu Presiden; Wakil Presiden; Dewan pertimbangan Presiden; Kementerian Negara; Menteri Luar Negeri; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pertahanan; Duta Konsul Pemerintahan Daerah Provinsi; Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi; DPRD Provinsi Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten; DPRD Kabupaten;Pemerintahan Daerah Kota; Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; DPRD Kota; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang Bank sentral25; Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Mahkamah Agung (MA); Mahkamah Konstitusi (MK); Komisi Yudisial (KY); Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Angkatan Darat (AD); Angkatan Laut (AL); Angkatan Udara (AU);
Prof. Yusril mengatakan, kalau disimak pemikiran para penyusun UUD 1945 di zaman pendudukan Jepang itu, rumusan tentang kekuasaan kehakiman ini tampak didominasi oleh pemikiran Mr. Muhammad Yamin, seorang jurist tamatan Rechts Hooge School, yang memang banyak dipengaruhi oleh sistem yudikatif di Negeri Be- landa. Fokus perhatiannya adalah kemerdekaan badan-badan peradil- an, dalam konteks pengadilan, bukan keseluruhan sistem yang terkait dalam penyelenggaraan proses peradilan, seperti yang dikenal dalam teori Criminal Justice System yang muncul belakangan. Dalam pikiran Yamin, institusi Kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Karena itu, dalam keseluruhan proses pembahasan UUD 1945 tidak ada ruang untuk membahas kedudukan kejaksaan. Bahkan kepolisian yang seba- gian tugas dan kewenangannya juga berkaitan dengan peradilan, juga tidak disinggung dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Namun permasalahan tentunya menjadi berbeda, setelah pada tanggal 22 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Pre- siden No. 204 Tahun 1960, yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikan- nya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama yang menem- patkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif.
Kebijakan Presiden tersebut dalam perkembangannya diikuti dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1961 (LN 1961 No. 254) tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI, yang walaupun dalam konsiderannya mengatakan bahwa Kejaksaan bukanlah ”alat pemerintah”, tetapi ”alat negara”, namun dalam penjabarannya secara implisit menggambarkan bahwa Kejaksaan bukan- lah bagian dari organ kekuasaan yudikatif, sebagaimana Presiden telah mengangkat Menteri/Jaksa Agung sebagai anggota kabinet.
Persepsi yang menempatkan Kejaksaan sebagai bagian dari ke- kuasaan eksekutif ternyata tetap dipertahankan pada saat UU Nomor 15 Tahun 1961 tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, bahkan UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya tidak lagi menyebut kejaksaan seba- gai ”alat negara”, tetapi menyebutnya sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan ke- adilan”. Sehingga terjadi pergeseran cukup penting dalam memandang kedudukan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi ”lembaga pemerintahan”. Pandangan tersebut diikuti oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) tetap konsisten menyatakan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta ke- wenangan lain berdasarkan undang-undang.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa rumusan Pasal 24 UUD 1945 yang berangkat dari hipotesis bahwa Kejaksaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pengadilan, sehingga cukup dijamin dengan mencantumkannya sebatas implisit sebagai badan-badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman, dirasakan tidaklah dapat menjawab ke- butuhan akan jaminan kemandirian Kejaksaan dalam kerangka sistem peradilan pidana sebagaimana kedudukannya saat ini, yaitu sebagai lembaga pemerintah yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Refrensi bacaan Buku Eksistensi Kejaksaan Dalam Konsitusi Di Berbagai Negara Karya Prof. EQ.RM Surachman; Dr. Jur (Can) Jan S. Maringka
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office