TEORI HUKUM DAN KRISIS OTORITAS
- 18 July 2022
Kritik atas hukum selalu ditujukan pada tidak me- madainya hukum sebagai sarana perubahan dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan substantif. Kegeli- sahan tersebut tetap masih ada, namun saat ini ada sebuah catatan baru yang ditemukan oleh penunjukan berkali-kali terhadap krisis legitimasi. Tanda bahaya yang bersifat konservatif tentang terkikisnya otoritas, penya- lahgunaan aktivisme hukum, dan macetnya “hukum dan ketertiban” (law and order) diteriakkan dalam gerakan pembaruan kembali yang radikal yang berfo- kus pada mandul dan korupnya tertib hukum. Dalam kritik neo-marxis ini, ada dua tema dominan. Pertama, institusi-institusi hukum sudah tercemar dari dalam, ikut menyebabkan bobroknya ketertiban sosial secara keseluruhan, dan berperan terutama sebagai pelayan kekuasaan. Di sini seluruh bukti kuat tentang penyele- wengan hukum, yang menguntungkan kaum kaya dan merugikan kaum miskin, dipuji-puji sebagai bukti yang tak terbantahkan. Kedua, ada kritik terhadap “legalisme liberal” (liberal legalism) itu sendiri, mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan prosedur yang diakuinya bersifat obyektif, tidak memihak dan otonom. Tema-tema ini terkait satu sama lain, karena “the rule of law” (pemerintahan ber- dasarkan hukum), yang tidak mampu mengatasi isu- isu mendasar mengenai keadilan sosial dan merupakan pendukung utama kekuasaan dan keistimewaan, turut ambil bagian dalam penyelewengan yang lebih dalam. Lebih buruk lagi, rule of law merupakan “musuh tersembunyi”. Kedaulatan hukum (the “rule of law”) dalam masya- rakat modern tidak kalah otoriternya dibandingkan dengan kedaulatan orang (rule of men) dalam masya- rakat pra-modern; kedaulatan hukum melaksanakan distribusi kekayaan dan kekuasaan secara salah seba- gaimana pada zaman dulu, namun ia melakukannya dengan cara yang rumit dan tidak langsung, sampai- sampai membuat pengamat bingung . . . Dalam sistem perbudakan, tatanan feodal, dan kolonial, penipuan dan patronisasi adalah cara-cara kontrol yang ringan; kekuatan adalah cara kontrol yang utama. Dalam dunia modern kapitalisme liberal (dan juga, perlu kita catat, dalam sosialisme negara), kekuatan ditempat- kan sebagai cadangan ketika....”banyak sekali guru moral, penasehat dan pembuat kebingungan memi- sahkan mereka yang dieksploitasi dari mereka yang berada dalam kekuasaan.” Di dalam sejumlah besar agen eksploitasi ini, buku-buku hukum termasuk pembuat kebingungan yang hebat.
Apa pun labelnya, dan apa pun pertalian ideologis- nya, perspektif-perspektif ini sekarang sedang diuji ketika institusi-institusi hukum beradaptasi dengan sikap dan harapan yang berubah, dengan perpecahan sosial. Alternatif-alternatif ini dimunculkan secara tajam ketika krisis “hukum dan ketertiban” muncul, yakni ketika otoritas melemah dan legitimasinya dipertanya- kan; ketika keinginan akan konsensus mengurangi validitas moral yang dianut; ketika media komunikasi publik dan aksi kolektif hampir mencapai batas keka- cauan yang dapat diterima; ketika perpecahan sosial begitu besar sehingga memunculkan pertanyaan mengenai kemampuan suatu sistem keadilan untuk ber- tahan; ketika perpecahan begitu meluas sehingga me- nimbulkan kesan bahwa otoritas hukum terlalu sedikit berdasarkan pada partisipasi dan persetujuan. Dalam kondisi otoritas yang terancam seperti ini, alternatif- alternatif abstrak menjadi pilihan nyata, yang menegas- kan-karakter.
Jika otoritas sedang berada dalam kondisi kacau balau, bidang lainnya yang kurang penting dari teori hukum dan sosial pun akan menjadi kacau. Kita tidak mempunyai ilmu hukum yang mampu menjelaskan perspektif-perspektif yang saling bertentangan, untuk mengatakan tidak ada ilmu hukum yang menguji asumsi- asumsi atau mempertemukan kembali perbedaan- perbedaan yang ada. Doktrin-doktrin “hukum dan ke- tertiban” cenderung sangat menyederhanakan, demi- kian pula dengan penolakan hukum secara radikal. Namun demikian, ada upaya yang baru saja muncul guna mencari teori hukum dan sosial yang dapat (1) mempertegas pentingnya hukum dan (2) menunjuk- kan alternatif selain pemaksaan dan penindasan. Seba- gaimana akan kita lihat, beberapa tulisan belakangan ini sangat relevan. Tetapi baru ada sedikit upaya sistema- tis untuk menempatkan krisis kontemporer sebagai suatu masalah dan kemudian melakukan rekonstruksi gagasan ilmu hukum dengan tepat. Kita berharap per- spektif ilmu sosial akan memberikan beberapa sum- bangan untuk itu.
Sumber bacaan buku Hukum Responsif Karya Philippe Nonet