Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
- 12 May 2022
Lahirnya UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita dalam perkawinan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah masalah perkawinan paksa, poligami, dan talak yang sewenang-wenang. Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang hukum perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan yang bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha) (Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, 2005:9).
Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar Indonesia tidak lagi mengadopsi UU yang diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda. RUU tersebut kemudian dibahas dalam sidang DPR namun tidak berhasil berwujud undang-undang (Basiq Djalil, 2006:84). Kemudian pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas RUU Perkawinan yang berisi tentang RUU Perkawinan umat Islam yang berasal dari Departemen Agama dan RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun, pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama, karena pada saat itu wakil golongan Katolik sangat kecil jumlahnya (Taufiqurrohman Syahuri, 2013: 106).
Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada DPR melalui pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu. Tingkat ketiga berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk membahas RUU, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama Panitia Kerja RUU Perkawinan. Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU Perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing fraksi. Setelah melalui pembicaraan empat tingkat antara DPR dan Pemerintah, maka RUU tersebut diteruskan kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang. Setelah semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, maka pada hari itu juga RUU Perkawinan disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang. Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan, dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor 3019/1974 (Jamaluddin, 2009:75).
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan