PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT ISLAM
- 12 May 2022
Islam memandang pernikahan bukan hanya sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata, tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah (bernilai ibadah) (Burhanuddin, 2010: 94). Hal ini sesuai dengan yang tertuang didalam Pasal 2 KHI yang merumuskan bahwa: ”Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.
Pada zaman Rasullullah SAW, kewajiban untuk mencatatkan pernikahan memang tidak ada. Semua itu dikarenakan belum terbentuknya infrastruktur pemerintahan yang lengkap seperti sekarang ini. Dari perspektif Fikih sebagai salah satu sumber Hukum islam, bahwa ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh Fikih wapaupun ada ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-Quran. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, transaksi walimat al-urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlansung dimana calon suami dan calon isteri berada dalam satu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004: 120- 121).
Jadi pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu yang dipandang penting pada waktu itu, sehingga pembuktian perkawinan bukanlah dengan suatu akta tertulis yang harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, akan tetapi perkawian cukup dibuktikan dengan saksi dan uapara walimah yang dihadiri oleh banyak orang. Namun, walaupun tidak ada kewajiban pencatatan pernikahan, Rasullullah sendiri memerintahkan agar perlu dilakukan pengumuman (i’lan) atas setiap pernikahan untuk menghindari fitnah. Jadi, Islam sendiri memerintahkan agar pernikahan dilakukan secara terbuka dan tidak ditutup-tutupi. Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum, yang dalam hal ini adalah perkawinan, sebenarnya tidak diambil dari ajaran hukum perdata Belanda (BW) atau Hukum Barat, tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT yang tercantum dalam Surat Al-Baqarah: 28 ”Hai orang-orang Yang beriman,apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan benar”.
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa, pencatatan merupakan alat bukti tertulis. Meskipun perintah pencatatan pada ayat tersebut adalah terkait dengan perikatan yang bersifat umum, namum berlaku juga pada masalah pernikahan. Apabila perikatan (akad) muamalah saja dianjurkan agar dicatat untuk dijadikan alat bukti, tentunya akad nikah sebagai perikatan yang kokoh dan langgeng (mitsaaqan ghalizhan) mestinya seruannya lebih dari itu (Burhanuddin, 2010:96).
Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, dengan tujuan:
- Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
- Pencatatan perkawinan tersebut pada Ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Oleh karena itu, istilah “harus dicatat” dalam Pasal 5 Ayat (1) KHI juga hanya bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam semata. Berdasarkan hal tersebut, sudah sepantasnya umat Islam Indonesia harus menyadari bahwa pencatatan suatu perkawinan merupakan aspek yang sangat penting karena merupakan ajaran agama yang langsung sebagai perintah Allah SWT, dan telah diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia sebagai hukum positif sehingga mempunyai daya mengikat dan memaksa untuk dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umat Islam.
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan