PRINSIP PENATAAN EKSTERNAL/FORMAL
- 22 July 2022
Menurut teori sistem, hukum harus dipahami dengan latar belakang masyarakat dalam arti yang seluasnya. Manusia hidup dalam berbagai hubungan antara satu dengan lainnya dan mempunyai harapan-harapan tentang perilaku masing-masing dan tentang reaksi-reaksi masing terhadapnya. Menurut Luhmann, semua peran-peran yang majemuk ini memperlihatkan sifat yang khaotik. Untuk itu, fungsi dari sistem adalah mereduksi kompleksitas (kemajemukan) ini menjadi stuktur yang lebih jelas kerangka umumnya. Dengan cara itu, kehidupan menjadi tertata dan kepastian dapat diciptakan di masyarakat.
Daya jangkau hukum adalah secara umum untuk memungkinkan berfungsinya semua sistem (yang lain). Untuk itu, hukum harus mengupayakan bahwa di dalam masyarakat tersedia keputusan- keputusan hukum yang mengikat. Hukum mengambil dari masyarakat, berbagai kerterberian/data (in put) dan mengolahnya menjadi keputusan-keputusan (out put). Dengan demikian maka harapan- harapan yang kompleks direduksi menjadi aturan-aturan hukum yang dapat diperhitungkan dan berkerangka umum.
Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal. Yang dapat dibedakan menjadi kaidah hukum, figur hukum, dan lembaga hukum.
Termasuk dalam kaidah hukum adalah aturan-aturan umum misalnya: undang-undang, vonis, keputusan pemerintah, asas-asas hukum.
Hukum itu memiliki pretensi untuk mewujudkan atau mengabdi tujuan tertentu yang disebut sebagai ide hukum (cita hukum). Penetapan tujuan ini terletak dalam lingkungan normatif, apakah penetapan tujuan ini juga secara faktual ada, maka itu adalah hal lain. Hukum adalah penilaian akal budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia. Penghayatan tentang keadilan memun- culkan penilaian seyogianya orang berperilaku dengan cara tertentu. Penilaian ini disebut penilaian hukum. Keseyogiaan itu tidak sepenuhnya diserahkan kepada keyakinan subyektif orang, melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat.
Realisasi dan kepatuhan kemasyarakatan hanya mungkin terjadi jika hukum tidak bermuatan kontradiksi dan kaidah- kaidahnya tidak saling bertentangan. Ini berarti bahwa hukum dan kaidah-kaidahnya mewujudkan diri sebagai suatu kesatuan yang koheren (bersistem). Untuk itu, hukum menciptakan asas-asas yang mencegah timbulnya kontradiksi di dalam dirinya sendiri.
Kebersisteman dalam kesadaran hukum itu adalah tuntutan logikal dari hakikat dan tujuan keberadaan hukum itu sendiri. Kebersisteman ini dimungkinkan terjadi oleh bekerjanya fungsi logikal dalam kehidupan rohani atau kejiwaan manusia yang memungkinkan manusia mempersepsi dan menata keberadaannya sendiri menjadi dapat dimengeri, bermakna dan mengarahkan perilakunya. Oleh karena hukum terbentuk oleh dan di dalam sejarah serta menjalani proses menyejarah maka sistem hukum yang terbentuk dengan sendirinya merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis (Sidharta, 2009:187).
Dalam masyarakat yang mengenal diferensiasi, kepatuhan pada hukum memerlukan pemositivan. Tatanan hukum adalah keseluruhan kaidah hukum positif dan asas yang melandasinya, kelembagaan hukum dan proses pembentukan kaidah.
Unsur tata hukumnya tersusun secara hirarkis dalam suatu sistem aturan hukum berdasarkan asas lex superior derogat lex inferiori, asas lex posterior derogat legi priori, asas lex specialis derogat legi generali, dan asas non-retroaktif. Asas-asas ini merupakan fungsi logikal akal budi manusia yang inheren dalam hukum untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas demi kepastian dan keadilan guna mewujudkan suatu sistem yang menyatu.
Van Hoecke membedakan material hukum dalam 4 kategori (Sidharta, 2009: 150):
a) Teks yuridis normatif (teks otoritatif) : perundang-undangan, traktat, asas hukum umum, yurisprudensi perjanjian baku, dsb
b) Pemakaian bahasa hukum (di dalamnya terdapat pengertian- pengertian dalam hukum)
c) Penerapan hukum secara konkret (putusan hukum/vonis/arrest)
d) Sistem hukum asing bersaranakan perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Adapun sistematisasi material hukum dibedakan dalam 3 (tiga) tataran :
(a) Tataran teknis, kegiatan semata-mata menghimpun dan menata material. Tujuannya mengklasifikasi aturan hukum berdasarkan hirarki sumber hukum.
(b) Tataran teleologis berupa sistematisasi berdasarkan subs- tansi atau isi hukum. Dalam hal ini, pemikiran dan penataan ulang material yuridis dalam perspektif teleologis pengertian- pengertian aturan-aturan. Dalam tahap ini berlangsung saling mempengaruhi secara dialektikal atau lingkaran hermeneutis antara interpretasi dan sistematisasi.
(c) Sistematisasi eksternal adalah mensistematisasi hukum dalam rangka mengintegrasikannya ke dalam tatanan masya- rakat yang selalu berkembang ke dalam pandangan hidup yang dianut masyarakat. Sistematisasi ini dapat menyebabkan interpretasi ulang pengertian- pengertian yang ada dan pembentukan pengertian-pengertian yang baru. (Sidharta, 2009:151-152).
Sedangkan Radbruch menyatakan bahwa konstruksi dan sistematisasi dalam pengolahan material hukum dilakukan dengan 2 (dua) cara : (a) secara kategorial menampilkan hukum sebagai realisasi konsep hukum dan kategori-kategori hukum sebagai komponen-komponen ; (b) melukiskan hukum sebagai realisasi cita hukum (Sidharta, 2009 : 152).
Mengenai cara melakukan sistematisasi, ada 4 (empat) metode :
(a) metode logika yaitu menggunakan asas-asas dan hukum-hukum logika sebagai sarana untuk membangun struktur logikal dalam aturan yang jumlahnya semakin banyak dan selalu berubah sehingga keseluruhan aturan hukum itu tetap tertata dalam suatu sistem hukum yang koheren. Asas-asas logika : induksi, deduksi, analogi, a contrario, a fortiori.
(b) Metode tipologi yakni menetapkan tipe normal yang digunakan sebagai pedoman dalam penataan sejumlah kejadian,. Hal ini perlu ketika menghadapi material yang majemuk. Caranya adalah mengkonstruksi tipe norma yang dapat dipandang representatif untuk keseluruhan unsur yang pada semua kejadian dalam beberapa hal menyimpang dari setiap normal.
(c) Metode teleologis yakni menggunakan nilai-nilai dan kaidah- kaidah yang melandasi teks UU sebagai patokan untuk sistematisasi.
(d) Memanfaatkan produk berbagai ilmu manusia lain untuk melaksanakan sistematisasi eksternal yang disebut dengan metode interdisipliner atau transdisipliner.
Adapun kegunaan sistematisasi adalah sebagai berikut :
(a) penyeragaman (uniformitas, unifikasi);
(b) rasionalisasi dan penyederhanaan sistem hukum melalui konstruksi aturan-aturan umum dan pengertian-pengertian umum agar bahan hukum menjadi tertata lebih baik;
(c) penemuan penyelesaian untuk masalah hukum yang belum diatur secara eksplisit.
Sumber bacaan buku teori hukum karya uswatun hasanah