WAKAF DALAM SISTEM HUKUM ADAT
- 30 December 2021
Pada hakekatnya lembaga wakaf berasal dari hukum islam, namun kenyataannya seolah-olah sudah merupakan kesepakatan dikalangan para ahli hukum kita untuk memandang wakaf sebagai masalah dalam hukum adat Indonesia. Hal ini karena sudah meresapnya penerimaan lembaga wakaf ini didalam masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai suatu lembaga hukum yang timbul sebagai hukum adat/kebiasaan dalam pergaulan hidup mereka. Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu lembaga hukum islam yang telah diterima (gerecipieerd) dibanyak daerah di nusantara ini.
Di samping istilah wakaf sebagai terminologi yuridis aslinya dikalangan para ahli hukum Belanda dahulu dikenal pula istilah Vrome Stichting. Pada tahun 1922 Mr. Dr. Koesoema Atmadja telah menyusun suatu disertasi pada Universitas Leiden di bawah pimpinan Bapak hukum Adat Prof. Mr. Van Vollenhoven berkenaan dengan lembaga wakaf ini, dengan judul “Mohammedaansche Vrome Stichtingen”. Menurut pendapatnya bahwa sekalipun masalah tentang wakaf didasarkan pada ketentuan dan ajaran Agama Islam akan tetapi lembaga wakaf ini sudah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan agama islam. Pada saat itu (tahun 1922) ia menunjukkan ada beberapa jenis wakaf yang tidak dikuasai/ tunduk oleh aturan-aturan hukum islam, sebagai contoh yang ada di beberapa daerah:
1. Pada suku Badui di Cibeo Banten Selatan, dikenal huma serang. Huma adalah ladang-ladang yang tiap tahun dikerjakan secara bersama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama.
2. Di Pulau Bali juga terdapat semacam lembaga wakaf dimana terdapat tanah dan barang-barang lain seperti benda-benda perhiasan untuk pesta yang menjadi milik candi atau dewa-dewa yang tinggal di sana.
3. Di Lombok Barat terdapat tanah yang dinamakan Tanah Pareman, yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak (landrente) yang diserahkan kepada desa-desa, subak, juga kepada candi untuk kepentingan bersama.
Menurut Dr. Koesoema Atmadja, wakaf menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum denagn perbuatan mana suatu barang /barang keadaan telah dikeluarkan/diambil kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/orang tertentu atau guna seseorang maksudnya/tujuan/barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati.
Menurut Ter Haar wakaf ini adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang bersifat tersendiri dan dipandang dari suatu sudut tertentu bersifat rangkap. Maksud bersifat rangkap adalah perbuatan itu di satu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda-benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus, tetapi di lain pihak perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum (rechtspersoon) yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum (rechts subject).
Jadi melalui proses perwakafan ini suatu barang yang diwakafkan telah dikeluarkan dari lalu lintas hukum, sehingga tidak mungkin lagi untuk diikutsertakan dalam berbagai transaksi hukum. Proses pengalihan suatu barang tersebut juga menyebabkan perubahan dalam status hukum dari semula sebagai obyek hukum menjadi subyek hukum yang berstatus sebagai badan hukum menurut hukum adat.
Di kalangan para ahli hukum terdapat perbedaan pendapat tentang masalah perwakafan ini. Ada yang menyetakan bahwa perbuatan serupa itu hanya diperkenankan untuk tujuan tertentu yang bersifat ibadah dan shaleh. Adapula pendapat yang memungkinkan orang untuk mewakafkan tanah dan benda lainnya untuk sembahyang asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan agama islam. Pada umumnya wakaf dapat dibedakan dalam 2 macam:
1. Wakaf yang berupa tanah/ perumahan untuk masjid atau surau. Jika perlu ditambah dengan tanah pertanian yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan masjid dan nafkah pegawainya serta kitab-kitab Qur’an untuk keperluan masjid.
2. Wakaf berupa sebagian kekayaan dimana tidak dapat dipindahtangankan selama-lamanya diperuntukkan untuk anak cucu guna memungut hasilnya.
Menurut hukum adat pembuat wakaf harus mempunyai hak dan kuasa penuh atas barang yang diwakafkan, barangnya harus ditunjuk dengan jelas dan tidak boleh dipakai ke arah hal yang terlarang menurut ajaran agama islam. Tujuan yang halal itu harus disebutkan dengan kata-kata yang jelas. Sebaliknya, orang yang menerima wakaf ditunjuk sejelas-jelasnya dan mereka harus menyatakan dengan tegas menerima baik perwakafan tersebut. Di samping si pembuat wakaf dapat menetapkan pengurusannya dengan mengangkat seorang pengurus, jika pengurusnya tidak ada maka pegawai masjid menurut hukum diharuskan mengurusnya. Setelah pembuatan akte wakaf, maka kedudukan hukum dari barang itu diatur oleh hukum adat (yang tidak terpengaruh hukum islam atau unsur agama). Segala tindakan yang berupa pemanfaatan benda tersebut untuk mencapai tujuannya adalah kewajiban si pengurus termasuk untuk menuntut perkara.
Menurut Ter Haar andaikata wakaf semata hanya berkaitan dengan hukum tidak tertulis orang pribumi saja, maka cukup dengan aturan pembuat wakaf saja. Namun jika wakaf disinggungkan dengan sistem hukum tertulis yang berdasarkan faham bahwa semua barang dalam hukum harus ada pemiliknya, maka harus dianggap bahwa memang ada seseorang pemilik atas barang yang diwakafkan itu. Jadi ada wakaf yang mempunyai seorang pengurus yang mewakilinya. Oleh karenanya perbuatan hukum mengenai wakaf dapat dilaksanakan juga dalam hukum tak tertulis tanpa kesulitan.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office