Konstitusionalitas kewenangan MK mengadili perselisihan hasil Pemilukada
- 13 April 2021
Salah satu perubahan penting mengenai sistem pemilu pasca reformasi adalah lembaga kekuasaan kehakiman diberikan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu legislatif maupun eksekutif. MK diberikan wewenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. MA mengadili sengketa - sengketa pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur dan kewenangan Pengadilan Tinggi untuk pemilihan Bupati/Walikota (UU No. 32 Tahun 2004). Kemudian, sejak 1 Nopember 2008 kewenangan tersebut dialihkan kepada MK, sesuai dengan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004.
Konstitusionalitas kewenangan MK untuk mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilukada dipertanyakan sebagai akibat dari terbitnya putusan MK Nomor 97/PUUXI/ 2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada hari Senin, 19 Mei 2014. Dalam amar putusan dinyatakan bahwa Pasal 236C Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan MK tersebut mengandung makna bahwa MK tidak lagi memiliki wewenang mengadili perselisihan hasil pemilukada karena pemilukada bukan rezim pemilu sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Putusan MK tersebut sudah dilaksanakan dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi, UU ini dicabut dengan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015. Dalam Pasal 157 ayat (1) ditentukan bahwa perselisihan hasil pemilukada diadili oleh Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh MA.
UU No. 1 Tahun 2015 diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 sehingga terjadi lagi perubahan badan yang berwenang mengadili perselisihan hasil pemilukada. Hal itu ditentukan dalam Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2015:
- Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
- Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
Badan peradilan khusus yang dimaksudkan pada ayat (1) tersebut baru akan dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilukada serentak nasional, yang pelaksanaannya direncanakan pada 2019 (Penjelasan Umum huruf g UU No. 8 Tahun 2015). Karena itu, MK diberikan wewenang untuk mengadili perselisihan hasil pemilukada sampai dengan badan peradilan khusus terbentuk. Hal itu ditentukan dalam Pasal 157 ayat (3) dan ayat (4). Ketentuan tersebut sesuai dengan salah satu amar putusan MK Nomor 97/PUUXI/ 2013 bahwa, MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilukada selama belum ada UU yang mengatur mengenai hal tersebut.
Referensi: Kadir Herman (2019) Dosen mata kuliah PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM. FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ESA UNGGUL