PERDAGANGAN DAN WTO
- 09 October 2022
Salah satu prinsip “diplomasi dolar” dan idealisme Wilsonian pada abad ke-20, yang terlihat dalam dukungan arbitrasi perdagangan, merupakan keyakinan bahwa perdagangan bebas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan perdamaian dunia. Kebencian Amerika terhadap gaya imperium Eropa konsisten dengan oposisi terhadap sistem eksploitasi kolonial yang juga merupakan pasar tertutup bagi ekspor Amerika. Gagasan ini sering diekspresikan namun menghadapi kesulitan dalam prakteknya. Tingginya pajak yang menjadi ciri kebijakan Amerika selama paruh pertama abad tersebut ketika kepentingan busnis yang lebih khusus menguasai sentimen para elite legal New York. Tradisi elite legal terpelihara dalam eksekutif Departemen Dalam Negeri sejak lama diidentifi kasikan dengan perdagangan bebas, namun bukanlah merupakan sebuah nilai yang memiliki preseden dalam diplomasi. Truman dan Acheson, misalnya, tidak bergulat untuk mendirikan Organisasi Perdagangan Internasional pasca Perang Dunia II bersama dengan usulan institusi lain dari Brett on Woods, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Mereka mantap dengan General Agreement on Tariff s and Trade (GATT).
Situasi mulai berubah pada masa pemerintahan Kennedy dengan adanya negosiasi bea cukai GATT dalam Dillon Round. Ketika Kennedy memilih untuk tidak terlalu menekan untuk memberlakukan perdagangan bebas agar bisa masuk ke pasar Eropa, Departemen Perdagangan, yang lebih dengan bisnis, mengajukan komplain dan mulai menekankan kebijakan perdagangan formal yang lebih kuat. Undang- undang yang diberlakukan pada 1962 merefleksikan pengaruh bisnis yang terus berkembang. Kennedy sepakat untuk menunjuk Perwakilan Perdagangan Khusus (yang kemudian dinamai dengan Trade Representative atau USTR) yang akan menegosiasikan persoalan-persoalan perdagangan. Kesulitan- kesulitan ekonomi dan meningkatnya kesadaran terhadap ketidakseimbangan dalam perdagangan seiring dengan meningkatnya ekonomi Jepang mulai menggembleng Trade Representative menjadi sebuah pendekatan yang lebih aktif. Perdagangan mulai mendapatkan prioritas sehingga fokus pada perang dingin sedikit tertunda. Presiden Nixon, yang didorong oleh Menteri Keuangan John Connallly, akhirnya menjadi lebih konfrontasional. Di bawah kepemimpinan William Eberle, seorang pemegang gelar JD-MBA dari Harvard dan mantan eksekutif bisnis, kantor Trade Representative dibangkitkan kembali dengna gagasan-gagasan untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan secara aktif di luar Amerika, tidak hanya mempromosikan pengurangan cukai melalui perundingan GATT baru.
Praktek perdagangan adversarial mulai tumbuh, membantu melanggengkan elite hukum tradisional yang memiliki orientasi pada perdagangan bebas, kini disokong oleh para klien yang lebih menuntut, namun juga memberikan doktrin-doktrin legal yang bisa dimunculkan oleh bisnis yang memiliki orientasi lebih tradisional. Ukuran perdagangan Amerika meningkat secara dramatis mulai dari pertengahan 1970-an, ketika hanya sedikit pengacara Washington yang mendapatkan pekerjaan dalam bidang perdagangan, hingga akhir Tokyo Round pada akhir dekade tersebut.
WTO, yang akhirnya didirikan setelah Perundingan Uruguay dan dukungan dari pemerintahan Clinton, melindungi elemen-elemen kunci praktek perdagangan Amerika, termasuk antidumping, dan memberikan forum natural bagi para pengacara perdagangan Amerika untuk terlibat lebih jauh dalam arah legalisasi. Selain itu, melalui upaya koalisi bisnis Amerika yang berinvestasi dalam “industri pengetahuan” perusahaan obat-obatan, perusahaan perangkat luna, industri film para pelobi agresif berhasil menjadikan Section 301 tersedia bagi perlindungan kekayaan intelektual dan dalam menggerakkan forum kuncui bagi perlindungan kekayaan intelektual dari World Intellectual Property Organization kepada WTO (Drahos dan Braithwaite, 2002), sehingga memperkuat dan melegalkan aturan-aturan yang mendukung Amerika dan beberapa negara lainnya.
Salah satu negosiator perjanjian WTO, secara lebih umum, mencatat “terdapat dukungan bagi terbentuknya resolusi perselisihan yang lebih efektif” yang akan mengurangi proses veto negara yang ditemukan dalam GATT (dikuti dalam Dezalay dan Garth 2007). Dan meski terdapat oposisi hampir universal terhadap undang-undang antidumping Amerika, yang sejak lama ternodai karena proteksionais, Amerika mengambil posisi yang secara politik mustahil bagi para negosiator untuk menyekapati provisi yang akan bisa mempersempit ruang lingkup undang-undang antidumping. Dengan demikian, negosiasi tersebut menghasilkan peningkatan lebih jauh dalam legalisasi perdagangan bebas khas Amerika.
Negara-negara berkembang yang menahan firma-firma hukum untuk memasuki arbitrasi perdagangan internasional, pihak-pihak lain seperti Eropa dan negara-negara berkembang lain seperti Brazil dan India membangun kredibilitas legal dan struktur adversarial sendiri dengan cara memanfaatkan peluang strategis yang dipersembahkan oleh struktur legal (Shaff er 2005). Mereka belajar dan menggunakan fi rma hukum Amerika juga. Lebih jauh, bahkan para penentang globalisasi memperlakukan WTO sebagai sebuah forum quasi- legal, mengkritiknya karena kurang transparan, kurang independen, dan tidak memiliki mekanisme untuk memberikan posisi bagi kelompok-kelompok lingkungan (Wallach dan Sforza 1999).
Hasilnya adalah pada hukum perdagangan internasional memiliki momentum yang sangat kuat untuk menegakkan aturan-aturan yang mendukungan perdagangan bebas yang merupakan bagian dari ideologi Amerika dan untuk menghidupkan pendekatan-pendekatan Amerika dibangun melalui hukum dan politik Amerika ke arah pendefinisian bagaimana cara untuk memperkuat kebijakan semacam itu dan memberikan saluran bagi bisnis penting yang terganggu oleh kompetisi internasional. Dalam hal ini terdapat sebuah lembaga panelis aktif yang memiliki keahlian dalam hukum dan praktek perdagangan serta berhasrat untuk terus mengembangkan perdagangan sebagai sebuah ranah legal global. Posisi kuat Amerika yang mendukung pasar bebas di luar negeri kini terabadikan dalam undang-undang global.
Sumber Bacaan Buku Globalisasi Hukum Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia