HUKUM AGRARIA SETELAH KEMERDEKAAN HINGGA TAHUN 1960
- 26 January 2022
Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan politik hukum bangsa Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia membentuk Undang- Undang Dasar Negara sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya titik awal pem- bangunan hukum nasional kita.
Persoalan agraria adalah persoalan yang memerlukan perhatian dan pengaturan yang khusus, jelas dan sesegera mungkin. Oleh karenanya, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menentukan sebagai berikut: ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini menjadi landasan dasar bagi pemerintah Indonesia untuk membentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan/agraria. Persoalan hukum agraria atau hukum pertanahan di negara kita sejak masa penjajahan hingga negara kita merdeka merupakan persoalan yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian yang utama bagi pemerintah Indonesia. Betapa tidak, bahwa ± 80% penduduk bangsa Indonesia pada saat itu bermata pencarian pertanian, sementara tanah- tanah pertanian yang subur dan tanah-tanah perkebunan yang sangat luas dikuasai oleh segelintir orang, yaitu penguasa dan pengusaha. Pengusaha-pengusaha besar dan penguasa-penguasa menguasai tanah dengan seluas-luasnya. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa antara penguasa dan pengusaha yang menguasai tanah dengan seluas- luasnya dengan masyarakat petani yang semakin miskin.
Pada masa ini aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu:
1. Hukum Barat yang tertuang dalam Buku II KUH Perdata, khusus mengenai tanah, Agrarische Wet 1870, Agrariche Besluit dengan S 1870-118 tentang Domein Verklaring (pernyataan domein negara).
2. Hukum Adat tentang tanah.
Berlakunya dua macam aturan hukum tersebut mengakibatkan tetap munculnya persoalan antargolongan, dan persoalan antaradat. Persoalan antargolongan dan persoalan antaradat tersebut pada era kemerdekaan ini sangat menghambat pelaksanaan pembangunan, terutama pembangunan hukum pertanahan. Sehingga dengan demikian aturan-aturan hukum tersebut diupayakan disesuaikan dengan cita-cita kemerdekaan dan amanat UUD 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian aturan-aturan hukum tersebut dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang merdeka dengan mempergunakan kebijakan dan tafsir baru. Beberapa aturan hukum yang disesuaikan adalah sebagai berikut.
1. Hubungan antara domein verklaring dan hak rakyat atas tanahnya, khusus hak ulayat.
2. Negara bukan sebagai pemilik akan tetapi hanya diberi wewenang untuk menguasai.
3. Penghapusan hak-hak konversi.
4. Semua tanah milik raja, rakyat hanya sebagai pemakai dan wajib menyerahkan kepada raja 1/2 atau 2/3 hasil kepada raja.
Selain itu pemerintah membuat perangkat-perangkat hukum guna menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan tersebut, yaitu pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penye- lesaiannya dilakukan dengan cara:
1. Terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antara pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
2. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersebut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan:
a. kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yang bersangkutan;
b. kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomian negara.
Dengan dibentuknya perangkat hukum tersebut maka diupayakan sudah tidak ada lagi pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat. Selain ketentuan tersebut di atas, dalam upaya menata kembali penguasaan pertanahan di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan;
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Peme- rintah dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah Perke-bunan;
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
Namun demikian, perangkat-perangkat hukum inipun tidak dapat menyelesaikan persoalan pertanahan yang ada di negara Indonesia merdeka ini, sehingga pemerintah sejak terbentuknya UUD 1945 berusaha untuk membentuk hukum agraria nasional yang berdasarkan kepada hukum nasional Indonesia (hukum asli Indonesia), dan akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, Lembaran Negara 1960-104, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan UUPA.
Dengan lahirnya UUPA maka dengan jelas-jelas mencabut keten- tuan Buku II KUH Perdata khusus tentang tanah, dan Agrarische Wet beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya yang mengatur masalah tanah. Terbentuknya UUPA maka terjadi kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang agraria. Dengan adanya kodifikasi dan unifikasi hukum agraria tersebut diharapkan dapat menghapus persoalan- persoalan hukum agraria yang dualisme dan pluralisme tersebut.
Lahirnya UUPA merupakan era perombakan dan pembaruan di bidang hukum agraria di Indonesia. Semua aturan hukum yang mengatur persoalan agraria, lebih khusus mengatur masalah tanah diatur sedemikian rupa sehingga menjamin hak-hak semua pihak dan perlindungan hukum bagi para petani. Dengan demikian diharapkan adanya penegakan hukum yang tegas dan konsistem tanpa adanya diskriminatif. Dengan lahirnya UUPA maka:
1. Menjamin adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menguasai dan memiliki tanah;
2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak atas tanah dengan jalan pembatasan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah oleh seseorang atau badan hukum;
3. Penentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dengan melaksanakan program landreform;
4. Diupayakan agar semua jenis hak atas tanah didaftarkan oleh pemerintah maupun pemegang haknya guna memperoleh kepas- tian hukum dan hak dalam rangka perlindungan hukum dan hak pemegang hak atas tanah.
5. Melakukan konversi semua hak-hak atas tanah yang sebelum yang berdasarkan hukum Barat dan hukum adat;
6. Melakukan pengaturan kembali sistem gadai tanah pertanian, sistem bagi hasil tanah pertanian;
7. Larangan penguasaan tanah pertanian secara absentee; dan
8. Redistribusi tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh negara kepada para petani yang memiliki tanah kurang dari dua hektar.
Sumber bacaan buku hukum agraria indonesia karya Dr. H.M. Arba, S.H., M.Hum.