PENAFSIRAN HUKUM
- 23 September 2021
Dalam pasal 22 menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkapnya, tidak jelasnya undang-undang. Dalam Undang-Undang pokok Kehakiman no 14 tahun 1970 hingga no 4 tahun 2004 bahwa pengadilan tidak boleh menolak dan memeriksa untuk mengadili suatu perkara dengan alasan dengan dalih tidak ada Undang-Undang yang tidak jelas. Melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat terjadi keadilan tidak ditinggalkan dengan perselisihan-perselisihan yang tidak diselesaikan sehingga berada dalam ketidakpastian hukum dan keadilan. Macam-macam metode penafsiran:
a. Metode Gramatikal
Bahwa hukum mempunyai hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-Undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat Undang-Undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-katanya yang tepat. Peraturan hukum hendaknya dirumuskan dengan singkat, jelas, dan tidak menimbulkan pengertian yang beranekaragam akan tetapi pembuatan Undang-Undang tidak selamanya dapat membuatnya seperti itu dalam hal inilah hakim wajib mencari arti kata itu menurut data sehari-hari dengan menggunakan kamus bahasa indonesia, meminta ahli bahasa untuk mempelajari sejarah semua kata.
b. Penafsiran Sejarah
Penafsiran sejarah dibedakan menjadi 2 yaitu:
- Penafsiran sejarah pembuatan Undang-Undang
- Penafsiran sejarah menuntut sejarah hukum
Penafsiran sejarah adalah pembuatan Undang-Undang bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan DPR dalam membuat Undang-Undang. Sedangkan, yang dimaksud dengan penafsiran sejarah hukum adalah hukum dilihat hukum yang berlaku, mungkin dilihat Undang-Undang yang lama apakah masih cocok dengan yang sekarang.
c. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain. Didalam Undang-Undang itu sendiri. Contoh pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak cakap mencatat perjanjian antara lain orang yang belum dewasa. Untuk mengetahui orang yang belum dewasa itu bisa dilihat dari pasal 330 KUH Perdata (ternyata mereka yang belum genap berusia 21 tahun).
d. Penafsiran Sosiologis
Penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang ini yang disesuaikan dengan tujuan atau memaksa pembuatan Undang-Undang tersebut. Karena Undang-Undang selalu ketinggalan sehingga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
e. Penafsiran secara resmi atau Otentik
Penafsiran ini adalah penafsiran yang dibuat oleh Undang-Undang sendiri. Dapat dilihat di tambahan lembaran negara.
f. Penafsiran Perbandingan
Penafsiran dengan cara membandingkan Undang-Undang yang lama yang tidak berlaku lagi dengan Undang-Undang yang sekarang. Maksudnya mungkin masih ada unsur Undang-Undang yang lama yang dimasukan kedalam Undang-Undang yang baru.
Sumber: Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi (2019). Bandung
illustration from pinterest and belong to the owner