KONTRADIKSI FUNDAMENTAL
- 25 December 2022
Pengacara memimpikan sebuah dunia yang diatur oleh aturan yang sah yang mendikte hasil-hasil yang tidak ambigu dalam setiap kasus (pandectism). Politisi memimpikan sebuah dunia di mana perintah mereka yang tidak terbatas diimplementasikan secara sempurna (autarchy). Bagi pengacara, politik adalah korupsi. Bagi para politisi, hukum adalah hambatan teknis. Visi-visi tersebut berbenturan keras di pengadilan. Kita memistifikasikan nominasi yudisial terutama untuk Mahkamah Agung sebagai sebuah pilihan yang secara teknis paling berkualifikasi, meski kompetensi merupakan sebuah variabel unidimensional di mana terdapat konsensus yang sempurna. Namun kita mengetahui aturan politik. Para kandidat meniti tali, berupaya memberikan sinyal loyalitas kepada para pendukung tanpa memberikan amunisi
pada lawan. Keputusan-keputusan yudisial menghadapi dilema yang sama: hakim berupaya mendapatkan hasil yang mereka sukai dan kemudian mengenakan busana kebutuhan legal. Richard Posner menyatakan: “cara saya mendekati kasus sebagai hakim barangkali Anda mengira bahwa hal tersebut adalah bidah adalah pertama-tama bertanya kepada diri saya sendiri hasil seperti apakah yang bisa menjadi hasil yang masuk akal dan bijaksana sehingga orang biasa bisa memahaminya, dan kemudian, setelah menjawab pertanyaan tersebut, saya mempertanyakan kembali apakah hasil tersebut diblok oleh teks konstitusional atau statuta, preseden, atau batasan konvensional pada diskresi yudisial” (Posner dan Heymann 2006). Perkataannya menyegarkan kembali perkataan Red Queen: “Vonis dulu putusan kemudian” (Carroll 1865, bab 12). Seperti halnya pasar memaksa kita untuk mengatakan seberapa banyak yang bisa kita belanjakan untuk keadilan, demikian juga politik memaksa kita untuk berkata seberapa besar kejujuran yang bisa kita pertahankan.
Sumber Bacaan Buku hukum dan politik Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia