TRADISI HUKUM ISLAM (Ajaran Substantif Hukum Islam)
- 11 May 2021
Ajaran Substantif Hukum Islam
Sebagaimana diternangkan dimuka, hukum islam secara teoritis mengatur semua aspek kehidupan manusia, karena ia tidak lain adalah jalan Tuhan untuk menyelamatkan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hukum islam mengontrol, mengatur dan meregulasi semua perilaku privat maupun publik seseorang. Cakupan yang begitu luas tersebut berakibat kepada pendekatan hukum islam yang begitu generalis dan eklektis dalam mendekati setiap persoalan. Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua klasifikasi besar yang diyakini terpisah dan saling memengaruhi.
Pertama adalah hubungan Tuhan dan manusia, di mana aturan ibadah diwajibkan kepada setiap orang islalm dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai refleksi atas ketundukan mereka kepada Tuhan, sementara yang kedua adalah hubungan antar-sesama manusia di mana hukum di dalamnya diturunkan untuk mengatur segala aktifitas dalam kehidupan manusia sehari-hari dengan sesamanya. Di sini kita mendapati teori hukum yang tidak hanya holistik dalam pandangannya tentang cakupan hukum tetapi juga menyatukan persoalan sekuler dan agama dalam satu entitas. Hukum islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat, puasa, zakat dan haji sebagaimana juga masalah bantuan sosial maupun hal-hal lainnya.ia juga berisi aturan tentang makanan halal, diet, hubungan seksual, pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik lainnya. Terlebih dari itu, di samping mengatur masalah yang berhubungan dengan tingkah laku individual, hukum islam juga penuh dengan aturan yang berhubungan dengan urusan kehidupan lainnya yang lebih kompleks. Paling tidak secara teoretis, kita dapat menemukan dalam hukum islam tatanan tentang bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bagaimana satu kelompok berinteraksi dengan kelompok lainnya. Di samping aturan tentang transaksi bisnis sebagaimana aturan tentang pertengkaran, konflik dan perang.
Namun begitu, aspek historis hukum islam menunjukkan dengan jelas bahwa perkembangan aspek substantif hukum ini sejak fase awal pertumbuhannya tidak resistan terhadap pengaruh asing. sejak masa awal pertumbuhannya, hukum islam senantiasa menyambut positif nilai-nilai dari luar yang dipandang masih masuk dalam batas ajaran islam. Hal ini tentu dapat dimengerti jika kita menyadari fakta bahwa meskipun hukum mempunyai peran penting dalam teologi islam, masa kehidupan nabi sendiri terlalu pendek untuk berurusan dengan segala macam kasus yang muncul di dalam masyarakat.
Aspek-aspek substantif hukum islam yang dibawa oleh nabi Muhammad dapat dikatakan sudah mengalami percampuran antara ide hukum sakral yang diambil dari ajaran-ajaran wahyu dan entitas tradisi hukum lain (yang sebagian besarnya adalah hukum adat masyarakat Arab) yang hidup saat itu. Di sini kita bisa melihat fenomena yang menarik di mana ide dan ajaran tentang hukum yang bersifat sakral dan hukum yang profan mengalami percampuran pada masa awal proses penciptaan hukum islam. Hukum Keluarga. Dari semua aspek substantif hukum islam, regulasi tentang keluarga tampaknya merupakan ajaran hukum yang sifatnya paling sakral. Aspek kesakralan inilah yang paling bertahan hingga kini di tengah benturan modernisasi yang berakibat kepada tersingkirkannya berbagai aturan lain dari hukum islam saat ini.
Maka nabi menghapus beberapa praktik adat Arab yang berlangsung sejak lama seperti poliandri, hubungan seksual di luar nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan sebagainya, sementara nabi juga melakukan modifikasi terhadap beberapa praktik hukum pada saat itu seperti dalam kasus poligami dan mahar. Jadi, tujuan utama dari perkawinan dalam islam adalah untuk menjaga kemurnian dan kebersihan hubungan genealogis ras manusia. Hal ini dapat dilaksanakan pertama melalui upacara ritual yang digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan kehendak dan kemauan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan tersebut. upacara perkawinan itulah yang secara esensial menjadi titik awal penghalalan suatu perbuatan yang sebelumnya diharamkan, yaitu hubungan seksual.namun demikian, ini tidak berarti bahwa perkawinan dalam islam itu tidak dapat dibina tanpa adanya upacara tersebut. Hukum islam tidak mensyaratkan ritual khusus atau formalitas yang bertele-tele dalam hal perkawinan; persyaratan yang esensial adalah adanya ijab (tawaran) dari satu pihak dan qabul (penerimaan) dari pihak lain untuk menerima kontrak perkawinan itu. Oleh karenanya dapat dimengerti bahwa perkawinan itu mempunyai nilai yang sangat penting dalam hukum islam. ia bukanlah sekadar kontrak legal saja, melainkan titik awal pembentukan sebuah keluarga yang dengan sendirinya merupakan faktor fundamental dalam bangunan masyarakat. itulah mengapa hukum islam mengatur perkawinan ini secara detail dan komprehensif.
Dari aspek-aspek itulah maka dapat dikatakan bahwa hukum islam sejatinya telah berhasil meningkatkan posisi wanita dalam masyarakat Arab. Kalau masyarakat Arab pra-islam melihat kaum wanita sebagai makhluk tanpa hak, maka nabi kemudian mengubah situasi itu dengan mereformasi institusi perkawinan dari bentuk hubungan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak laki-laki menjadi hubungan yang relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan di mana persetujuan perempuan menjadi faktor yang sangat penting. Tentu saja, pengaruh adat dan kultur Arab pra- islam cukup dominan sehingga nabi saat itu pasti tidak mudah membuang nilai-nilai lama tanpa mengadopsi sebagian nilai-nilai tersebut untuk masuk dalam sistem hukum islam. Jalan tengah tampaknya di sini menjadi alternatif terbaik agar ajaran-ajaran islam dapat diterima oleh masyarakat. untuk itu, nabi pada saat itu tidak sekadar mengganti praktik hukum lama dengan yang baru tetapi mempertahankan kultur lama yang tidak bertentangan dengan nilai islam yang dibawa oleh wahyu.
Sumber : buku hukum sakral dan hukum sekuler by Ratno Lukito