Perselisihan Hasil Pemilu
- 11 April 2021
UU No. 15 Tahun 2011 menggunakan istilah sengketa. Hal itu terdapat antara lain dalam Pasal 66 huruf e: “Sekretariat Jenderal KPU bertugas memberikan bantuan hukum dan memfasilitasi penyelesaian sengketa Pemilu”. Pasal 67: “Sekretariat KPU Provinsi berwenang menyelesaikan sengketa pemilu”. Pasal 68: “Sekretariat KPU Kabpaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa pemilu”. Pasal 73 ayat (4) huruf c: “Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa pemilu”. Pasal 73 ayat (5): “Tata cara dan mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu dan sengketa Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c diatur dalam undang-undang yang mengatur Pemilu”.
UU No. 8 Tahun 2012 (Pileg) menentukan tentang perselisihan hasil pemilu, misalnya dalam Pasal 271 dan 272. Pasal 271 pada prinsipnya menentukan bahwa, perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Degan demikian yang menjadi objek adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu. Pasal 272 menentukan bahwa Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada MK.
UU No. 42 Tahun 2008 (Pilpres) menentukan bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wapres dapat diajukan keberatan hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Keberata diajukan ke MK dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. MK memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan tersebut paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh MK (Pasal 201).
UU No. 1 Tahun 2015 (Penetapan Perpu 1/2014: Pemilukada) menggunakan istilah perselisihan. Hal itu tampak dalam Penjelasan Umum bahwa, dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam konteks kesatuan hukum nasional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tersebut mengatur penyelesaian baik penyelesaian untuk perselisihan hasil Pemilihan Gubernur maupun perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Walikota di tingkat Pengadilan Tinggi dan dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung yang putusannya bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Referensi: Kadir Herman (2019) Dosen mata kuliah PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM. FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ESA UNGGUL