HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
- 09 October 2022
Organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional memainkan peran yang relatif kecil dalam dua dekade pertama perang dingin. Dalam kaitannya dengan perdagangan dan arbitrasi perdagangan internasional, para pengacara elite di Amerika secara umum mengidentifi kasi diri dengan kasus hak asasi manusia dan demokrasi di luar negeri, ketimbang kolonialisme, namun tidak bertindak untuk memperkuat ideologi dalam institusi legal yang otonom. Prioritas perang dingin memiliki preseden dalam gagasangagasan ideal yang merupakan basis bagi aktivitas Amerika di luar negeri.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 memberikan dukungan simbolis kuat yang diberikan oleh Amerika, namun dalam hal ini tidak mesin untuk menegakkannya. Perkembangan besar berikutnya dari sisi Amerika terjadi setelah perang dingin. Alih-alih, perkembangan tersebut terjadi terutama merespons dukungan Soviet terhadap International Association of Democartic Jurists (IADJ), yang
sangat kritis terhadap McCarhyisme pada awal 1950-an. John J. McCloy, yang kemudian menjadi Komisi Tinggi bagi Jerman, bergabung dengan sekelompok kecil pengacara politik yang dekat dengannya termasuk Allen Dulles, yang kemudian menjadi Presiden Council on Foreign Relations dan Wakil Direktur CIA untuk merespons IADJ (Tolley 1994, 29). Dengan dukungan pendanaan dan administratif dari CIA, mereka menciptakan International Commission of Jurists (ICJ), yang berlokasi di Jenewa, dan mempercayakan lembaga tersebut pada sekelompok tokoh terutama dari Eropa. ICJ merekrut para tokoh terkenal dari lingkungan akademis atau diplomatik di Eropa untuk menjadi sekretaris jenderal. Orangorang yang terlibat di antara adalah Sean McBride, salah satu pendiri Council of Europe dan penandatangan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. McBride aktif hingga 1967 ketika keterlibatan CIA tercium oleh publik.
Sebagai bagian dari strategi perang dingin, ICJ berseru menentang ketidakadilan yang berhubungan dengan komunisme. Meski hukum kurang memiliki arti penting kecuali bagi legitimasi dan mencovernya bisa memberikan aktivitas-aktivitas yang bermotif politik, ICJ mempromosikan perkembangan dan sirkulasi keahlian hukum dan kelompok individu yang memiliki keahlian dalam prinsip-prinsip hak asasi internasional. Pada saat yang sama, di bawah pengaruh Amerika dan perang dingin, institusiinstitusi Eropa yang dipimpin oleh Conseil d’Europe mulai membangun sebuah lembaga Eropa bagi hukum hak asasi manusia (Madsen 2004; 2007).
Presiden Jimmy Carter mengenakan jubah hak asasi manusia dan menggabungkannya ke dalam kebijakan luar negerinya dengan beberapa pengecualian perang dingin seperti Filipina di bawah Marcos. Ronald Reagan merupakan sosok presiden yang terkenal karena membuat ranah hak asasi manusia menjadi dewasa secara internasional. Pada 1982, dengan dana dari Ford Foundation dan lainnya, Human Rights Watch, bersama dengan cabang baru yang diberi nama Americas Watch, didirikan secara formal. Direktur lembaga tersebut adalah Aryeh Neier, seorang mantak pemimpin ACLU, dan dewan paling awal dari lembaga tersebut diisi oleh para pengacara perusahaan terkemuka yang diidentifi kasi dengan opisisinya terhadap Perang Vietnam. Orgnisasi- organisasi baru tersebut lebih bersifat entrepreneurial dan juga diarahkan untuk menentang kebijakan pemerintahan Reagan. Meningkatnya kompetisi dalam ranah tersebut mempercepat perkembangan dan profesionalismenya. Dalam banyak hal, kemajuan ranah hak asasi manusia pada 1980-an dan konversi pemerintahan Reagan khususnya dalam hal Chili, di mana mereka mendukung digelarnya pemilu yang berhasil menumbangkan Pinochet berasal dari perdebatan di antara para pejabat pemerintahan Reagan, terutama Elliot Abrams, dan para advokat hak asasi manusia seperti Aryeh Neier dan Michael Posner. Kampanye media yang diorganisasi di seputar isu hak asasi manusia memberikan legitimasi dan arti penting pada hukum dan pengacara dalam perdebatan mengenai kebijakan luar negeri. Para ahli hukum yang berasal dari para pengacara generasi baru menjadi hal penting bagi lembaga tersebut. Dalam hal perdagangan dan arbitrasi, adversarialisme mendapatkan posisi terkemuka dan membangun ranah di Amerika. Undang-undang hak asasi manusia internasional menjadi hal penting bagi kebijakan luar negeri Amerika dan didefi nisikan secara erat dengan politik Amerika. Sekali lagi, dalam hal perdagangan dan arbitrasi, para pemimpin yang memiliki cita-cita tinggi di negara-negara berkembang dan di segala penjuru dunia termasuk, misalnya, Afrika Selatan –bekerja bebarengan dengan norma-norma dan para aktor legal terkemuka dari Amerika kini menjadi sebuah kelompok NGO yang berpusat di New York dan Washington, DC untuk bertempur dalam pertempuran legal dan politik.
NGO-NGO yang didukung Amerika, media Amerika, dan kampuskampus Amerika menjadi pusat agenda internasional. Agenda internasional ini bergantung pada isu-isu kredebilitas di Amerika seperti kekerasan terhadap wanita, pemilu, dan media yang bebas dari dominasi pemerintah, dan yang lebih mutakhir adalah isu seputar perdagangan wanita sebuah isu yang bisa memobilisasi kelompok wanita dan kaum Kristen kanan di Amerika. Organisasi-organisasi hak asasi manusia mengambil model organisasi-organisasi yang didirkan oleh Ford Foundation berbasis pada model di Chili yang kini telah menyebar di seluruh dunia. sarat dan Scheingold mengkarakteristikkan aspek globalisasi ini sebagai penyebaran “kasus pengacara” (Sarat dan Scheingold 2001). Pendekatan- pendekatan yang digunakan, strategi-strategi yang diterapkan, dan bahkan normanorma khusus yang penting, mendapatkan isyarat dari sebuah ranah hukum internasional yang memiliki orientasi kuat ke arah Amerika Serikat.
Sumber Bacaan Buku Globalisasi Hukum Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia