PENCATATAN PERKAWINAN
- 12 May 2022
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.itu. Namun tiap-tiap perkawinan perlu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang- undangan. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 KHI mengatur bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus dicatat (ayat (1)). Untuk pencatatan pernikahan itu dilakukan oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk seperti yang termuat didalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Jo, Undang-undang 32 Tahun 1954. Kemudian pada pasal 6 KHI dijelaskan “setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (ayat 1). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan juga terdapat didalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU Perkawinan.
Fungsi pencatatan perkawinan terdapat dalam penjelasan umum UU Perkawinan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Jadi, dari penjelasan pencatatan perkawinan di dalam UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 serta PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa sekalipun bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan, karena pencatatan itu merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini membawa banyak konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan (Beni Ahmad Saebani, 2001: 88).
Nikah yang tidak dicatat pada pegawai pencatat nikah selaku pengawas nikah bagi orang yang beragama islam akan dikenakan sanksi hukum. Hal ini pasal 3 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946 menegaskan barangsiapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan Pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,00,- (Lima Puluh Rupiah). Masalah sanksi bagi yang melangsungkan perkawinan yang tidak melaporkan kepada pegawai pencatat perkawinan juga diatu dalam pasal 45 PP No. 9 Tahun 1979 yang menegaskan siapa saja yang melangsungkan perkawian tidak sepengetahuan pegawa Pencatat dihukum dengan hukuman denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Di dalam ketentuan PP No. 9 Tahun 1979 tersebut hukuman tidak hanya kepada pihak yang melangsungkan perkawinan yang tidak sepengetahuan pegawai Pencatat, tetapi kepada kepada pegawai pencatat yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga akan dikenakan hukuman denda 3 (tiga) bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan