Hak Menguasai Dari Negara
- 17 March 2022
Konsep hukum Hak Menguasai dari Negara ini tertuang dalam keten- tuan Pasal 2 UUPA, yang menentukan sebagai berikut:
1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur;
4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat- masyarakat Hukum Adat, sekadar diperlukan dan tidak ber- tentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan- ketentuan Peraturan Pemerintah.
Hak Menguasai dari negara ini adalah nama yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah rakyat Indonesia. Kewenangan negara di bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas Bangsa. Kewenangan tersebut bersifat publik semata-mata.
Dalam Penjelasan Umum II, bahwa UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidak pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Negara hanya sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari seluruh rakyat (bang- sa) bertindak selaku badan penguasa.
Kewenangan Negara yang disebut dalam Pasal 2 tersebut adalah meliputi kewenangan bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
1. Kewenangan dibidang legislatif adalah berupa mengatur dan menentukan, yang dilaksanakan oleh Badan-badan legislatif Pusat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam bentuk Ketetapan MPR, Presiden/pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat da- lam membuat Undang-Undang, Pemerintah dalam bentuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang, serta Presiden da- lam bentuk Peraturan Presiden, dan Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang diberi wewenang di bidang pertanahan berupa Peraturan dan Keputusan.
2. Kewenangan eksekutif, yaitu kekuasan untuk menyelenggarakan dan menentukan dilakukan oleh Presiden, dibantu oleh para Menteri dan Badan Pertanahan Nasional. Atas kewenangan tersebut, maka pemerintah pusat diwajibkan untuk membuat “rencana umum” tentang penyediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa. Rencana umum tersebut dirinci lagi ke dalam “rencana regional dan daerah”. Atas dasar kewenangan membuat rencana ini, maka Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan selanjutnya Pemerintah membuat pula peraturan di bidang Tata Guna Tanah, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Tata Guna Tanah.
3. Kewenangan yudikatif yaitu kewenangan lembaga negara untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau konflik-konflik pertanahan, baik berupa konflik horizontal, yaitu konflik antara pemegang hak atau antara rakyat sendiri, maupun konflik vertikal, yaitu konflik antara rakyat dengan Pemerintah yang merupakan wewenang dari lembaga Peradilan, baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara.
Subjek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan objek Hak Menguasai Negara semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak dihaki maupun tanah-tanah yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang disebut “tanah Negara” (Pasal 28, 37, 41, 43, 49). Hak menguasai Negara yang disebut “tanah Negara” ini berbeda dengan “landsdomein” atau “milik negara” dalam rangka domein verklaring.
Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional, maka pengertian tanah Negara yang semula adalah tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara mengalami perkembangan. Hal ini ditinjau dari aspek kewenangan penguasaannya, sehingga yang disebut tanah-tanah negara itu adalah mencakup:
1. Tanah-tanah Wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan;
2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan pelak- sanaan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya;
3. Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat-masyarakat Hukum Adat territorial dengan Hak Ulayat;
4. Tanah-tanah Kaum, tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat geoneologis;
5. Tanah-tanah Kawasan Hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan. Hak pengu- asaan ini hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewe- nangan Hak Menguasai dari Negara
6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, yang bukan tanah-tanah hak, bukan tanah-tanah wakaf, bukan tanah-tanah Hak Pengelolaan, bukan tanah-tanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan bukan tanah-tanah Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini adalah tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh Negara yang disebut tanah Negara.
Hak menguasai Negara tidak dapat dpindahkan kepada pihak lain, akan tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat Hukum Adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional sebagai tugas pembantuan, bukan otonomi, dan segala sesuatunya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pelimpahan wewenang kepada pemerintah Daerah dalam “mede- bewind” itu pada hakikatnya terbatas pada wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan peme- liharaan tanah. Wewenang mengatur misalnya berkaitan dengan perencanaan pembangunan Daerah, wewenang menyelenggarakan misalnya berupa tindakan mematangkan tanah untuk disiapkan guna pembangunan perumahan rakyat, industri dan lainnya.
Pelimpahan pelaksanaan kewenangan selain kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum Adat, juga kepada Badan- badan Otorita, Perusahaan-perusahan Negara, Perusahaan-perusahaan Daerah, dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan apa yang dikenal dengan “Hak Pengelolaan”.
Hak Pengelolaan ini tidak diatur dalam UUPA akan tetapi hanya tersirat dalam Penjelasan Umum: bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra untuk dipergunakan sebagai pelakanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)).
Hak Pengelolaan ini diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan selanjutnya, jo. Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 ten- tang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Ketentuan Hak Pengelolaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang “Ketentuan-ketentuan mengenai Penyedian dan Pemberian hak untuk keperluan Perusahaan, jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.
Sumber Bacaan Buku Hukum Agraria Indonesia Karya Dr.H.M.Arba,S.H.,M.Hum