REPRESI DAN EKONOMI KEKUASAAN
- 18 July 2022
Jika kita terima urgensi kepemimpinan sebagai- mana adanya, maka sumber represi yang paling besar adalah apa yang disebut Merriam sebagai “miskinnya kekuasaan” (the poverty of power). Ia mencatat bahwa “tidak ada yang lebih mengejutkan bagi para pemegang kekuasaan, atau mungkin bagi para warganya, daripada lemahnya perintah dalam tipe-tipe krisis tertentu”. Otoritas bergantung pada konteks pendukung bagi praktek dan keyakinan. Meski demikian, tidak adanya konteks tersebut, kekuasaan tidak lantas menjadi hilang. Ketika pemegang kekuasaan berada dalam situasi yang sangat sulit, mereka akan berpaling ke mekanisme- mekanisme represi. Mereka berlaku demikian tidak mesti karena tujuan jahat tetapi karena mereka barang- kali tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Pola ini paling jelas terlihat dalam tahapan pemben- tukan komunitas politik. Pembangunan bangsa (nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan kesadaran, tapi pada awalnya proses ini merupakan pekerjaan dari kaum elit yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuatan dan penipuan. Kemudian, ketika institusi-institusi kebang- saan mulai terbentuk, negara dapat mulai melangkah untuk menyediakan pelayanan dan menggaet kesetiaan dari masyarakat. Yang paling diperlukan sebelum nation building adalah “perdamaian raja” (king’s peace), bersama dengan “pengambilalihan politik” (political expropriation) terhadap para penantang potensial. Tertib hukum yang terjadi sebagai dampak lanjutan dari proses di atas memiliki karakter sebagai berikut:
- Pengadilan dan aparat hukum adalah menteri-men- teri sang raja. Mereka dianggap (dan mereka meng- anggap diri mereka) sebagai instrumen penguasa yang mudah diatur. Institusi-institusi hukum mela- yani negara; mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari negara. Gagasan tentang kedaulat- an merasuki wacana hukum. Berikut adalah idiom dari Austin ketika ia membahas kebiasaan yang ditempatkan di bawah supremasi negara:
- Ketika hakim mengubah kebiasaan menjadi aturan hukum, . . . aturan hukum yang mereka buat itu dibuat oleh badan pembuat hukum yang berdaulat. Seorang bawahan atau seorang hakim hanyalah seorang men- teri. Porsi kekuasaan berdaulat yang ada di tangannya semata-mata merupakan porsi yang didelegasikan. Aturan yang ia buat memperoleh kekuatan hukum- nya dari otoritas yang diberikan oleh negara.
- Tujuan utama hukum adalah ketenteraman umum, “untuk menjaga kedamaian dalam setiap peristiwa dan berapapun harga yang harus diayarkan.” “Ter- puaskannya keinginan masyarakat akan keamanan umum” adalah “tujuan dari tatanan hukum.”
- Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sum- ber daya lain selain kekuatan pemaksa dari negara. Karena itu, hukum pidana merupakan perhatian utama aparat hukum dan cara yang representatif dari otoritas hukum. Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan aturan tersebut dise- suaikan dengan kriteria kelayakan politik. Tujuan negara (raison d’etat) mensyaratkan: diskresi yang tidak terkontrol perlu dijaga; peraturan-peraturan tetap secara lemah mengikat atau berlaku terhadap yang memegang kedaulatan; pengakuan terhadap hak-hak merupakan hal yang berbahaya.
Kondisi-kondisi di atas tidak hanya terbatas pada negara yang baru muncul, atau sedang dilanda berbagai persoalan pelik. Dalam kenyataannya, manifestasi paling ekstrim dari hukum represif justru terjadi pada negara besar yang totaliter di zaman modern. Di sana, ide ten- tang “ketertiban” meliputi lebih dari sekedar perdamai- an, tetapi dalam prakteknya usaha untuk memaksakan rekonstruksi masyarakat secara radikal memunculkan kebutuhan akan paksaan. Dikarenakan tidak mampu mengharapkan kesetiaan publik, negara totaliter di- hantui ketakutan akan perlawanan dan pengkhianatan, dan karenanya harus secara terus-menerus meng- andalkan sumber-sumber daya pemaksanya (yang saat ini jauh lebih canggih). Kriminalisasi merupakan bentuk pengontrolan resmi yang paling disukai, dan semangat hukum darurat mengemuka.
Sumber bacaan buku Hukum Responsif Karya Philippe Nonet