PERSELISIHAN
- 08 January 2023
Studi-studi mengenai perselisihan mempersoalkan bagaimana perselisihan bisa menjadi kasus pengadilan dan apa yang terjadi kepada kasus-kasus tersebut ketika diajukan ke pengadilan. Alternatif penyelesaian seperti apakah yang dimiliki pengadilan dalam menyelesaikan problem dan perselisihan? Mengapa konflik-konflik tertentu bisa menjadi kasus hukum namun sebagian besar yang lain tidak? Bagaimana pemahaman terhadap perselisihan membantu menjelaskan resolusi konflik dan mempengaruhi hukum? Baik konflik kriminal dan sipil di Amerika memenuhi piramida dengan sejumlah besar keluhan atau luka pada bagian paling dasar, dari hal itu hanya sedikit yang menjadi perselisihan, bahkan lebih sedikit lagi yang mengandung sumber daya informal bagi hukum (memanggil polisi atau pengacara), sementara jumlah yang melibatkan aktivitas hukum dua pihak (negosiasi penyelesaian atau permohonan negosiasi) lebih kecil lagi, sedangkan hanya sedikit persoalan yang dipecahkan melalui pengadilan (Trubek 1980-1981; Felstiner, Abel, dan Sarat 1980-1981). Sebuah survei besar yang dilakukan pada akhir 1970-an oleh Civil Litigation Research Project (CLRP) menunjukkan bahwa beragam tipe keluhan sipil (misal, pasca perceraian) yang lebih mungkin ketimbang yang lain (misalnya diskriminasi) untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam piramida tindakan legal (Miller dan Sarat 1980-1981; Kritzer 1991). Hasil empiris dari para ilmuwan CLRP dilaporkan dalam banyak buku teks proses yudisial, namun studi penting empat puluh tahun ini tidak direplikasi.
Teori komprehensif Galanter (1974) mengeksplorasi penggunaan pengadilan oleh pemain berulang vs one-shott ers menunjukkan banyak cara di mana orang-orang yang berpengalaman dalam prosedur-prosedur legal mahir dalam proses legal. Galanter juga menunjukkan bagaimana disparitas dalam profesi legal (spesialisasi, hubungan dengan klien, pelatihan hukum, dan lain-lain) semakin memperburuk keuntungan pemain berulang. Studi Galanter mengenai Law and Society Review merupakan salah satu artikel hukum yang paling banyak dikutip. Sejak penelitian Galanter, banyak studi empiris yang mendukung teorinya (lihat Kritzer dan Silbey 2003).
Salah satu aspek dari teori Galanter berpusat pada diferensiasi penggunaan mekanisme informal vs formal untuk penyelesaian perselsiihan oleh pemain berulang dan one-shott ers. Dengan kata lain, para pihak yang lebih familiar dengan proses hukum mengetahui kapan menjauhi pengadilan dan kapan menggunakan pengadilan, berdasar peluang mendapat keuntungan dalam aturan legal bertentangan dengan kemenangan atau kekalahan dalam konflik langsung. Argument ini, yang sangat didukung oleh penelitian Albiston (1999) mengenai hasil litigasi setelah Family and Medical Leave Act, menunjukkan adanya hubungan penting antara perselisihan dan perubahan dalam hukum. Perusahaan yang digugat oleh karyawan yang meminta hak izin kerja untuk keluarga pada akhirnya “menang” bahkan ketika perusahaan “kalah” dengan cara menyelesaikan kasus di luar pengadilan karena perusahaan mendapatkan peluang pembuatan aturan pada kasus-kasus lain yang pada akhirnya melemahkan legislasi.
Cara di mana perselisihan bisa dihubungkan dengan perubahan dalam hukum adalah melalui perluasan atau pengkerangkaan ulang sebuah perselisihan ke dalam kerangka normatif baru, dan melalui dukungan bagi perluasan yang bisa dicapai oleh para pihak. Seperti dinyatakan oleh Mather dan Yngvesson (1980-1981), kasus-kasus hukum bukanlah peristiwa obyektif, melainkan dikontruksi secara sosial untuk merefl eksikan kepentingan para pendukung perselisihan, untuk menarik audiens khusus, dan untuk menggabungkan nilai-nilai dan bahasa hukum. Bahasa hukum secara inheren bersifat politis, mengatur fakta dan melibatkan normanorma untuk mendukung suatu kepentingan atau kepentingan yang lain. Dengan mengonstruksi klaim dengan cara-cara tertentu, kita bisa memperluas hukum dan memobilisasi yang lain agar bisa mendukung interpretasi baru. Kelompok-kelompok yang kurang memiliki kekuatan politik barangkali bisa berhasil dalam menarik dukungan perubahan legal melalui pengkerangkaan ulang isu dan memobilisasi dukungan, seperti ditunjukkan dalam litigasi terhadap perbandingan harga (McCann 1994), kontrol tembakau (Mather 1998), dan kekerasan seksual (Marshall 2005). Sebuah kemenangan dalam litigasi, bahkan jika kemudian dibalik dalam banding, bisa membantu dalam menyeting agenda dan berperan sebagai katalis bagi perubahan selanjutnya.
Hubungan antara litigasi, tatanan politik, dan perubahan politik juga muncul dalam penelitian empiris mengenai penggunaan pengadilan. Memasukkan perselisihan ke pengadilan bisa dilihat sebagai sebuah alternatif bagi bentuk- bentuk tradisional partisipasi politik seperti yang dinyatakan oleh Zemans (1983), dan bahkan studi longitudinal terhadap pemanfaatan pengadilan di Amerika oleh McIntosh (1983) mendukung pandangan tersebut. Meski demikian, pengadilan bukanlah institusi pasif yang menunggu perselisihan memenuhi pirami dan menjadi bahan bagi keputusan yudisial. Pengadilan adalah institusi negara dan sebagai institusi negara pengadilan (atau cabang pemerintahan lainnya) bisa menggunakan kekuatan untuk memebntuk kondisi dan muatan litigasi (Munger 1990; Harrington dan Ward 1995). Poin umum mengenai kekuatan institusi ini disinggung dalam penelitian hukum dan masyarakat beberapa waktu yang lalu. Pergulatan mutakhir dalam reformasi hukum menggambarkan hal itu dengan baik, sebagaimana tindakan dari legislator negara bagian, Kongres, dan Mahkamah Agung berupaya untuk mengekang apa yang oleh kepentingan bisnis dipandang sebagai “ledakan” litigasi.
Sumber Bacaan Buku hukum dan masyarakat Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia