KERITIK HUKUM DAN PERKEMBANGAN HUKUM
- 18 July 2022
Sejauh ini kita telah mencermati ciri-ciri model rule of law yang berbicara tentang pusat perhatiannya yang utama—otonomi institusi-institusi hukum. Ketika cara, doktrin, dan teknik hukum menjadi stabil dan sadar akan keberadaannya, mereka membentuk sebuah wilayah institusional yang berbeda. Untuk menjaga fungsi sosial mereka yang utama, yaitu legitimasi, dan untuk menjaga otoritas yang dengan susah payah me- reka menangkan, yakni untuk membatasi pertanggung- jawaban penguasa, komunitas hukum mengadopsi posisi yang melindungi diri, membatasi diri dan konservatif. Mereka menjauhkan diri mereka sendiri dari wilayah kontroversi dan konflik politik. Dalam hal ini mereka mengikuti sebuah jalan yang sudah akrab: agama, sains, seni, dan ilmu pengetahuan telah mengadopsi strategi yang sama dalam mempertahankan integritas institusio- nal mereka.
Namun demikian, dalam kerangka rule of law, ancaman, kesempatan, dan harapan muncul, yang cen- derung menghancurkan otonomi dan menyatukan kembali hukum dengan politik dan masyarakat. Upaya untuk mengembangkan sebuah tertib hukum meng- gerakkan kekuatan-kekuatan yang memperlemah model rule of law. Transformasi model tersebut bukan- lah sebuah keharusan perkembangan historis, sebab banyak hal tergantung pada konteks kebutuhan sosial dan sumber daya yang melingkupinya. Di sini kita bicara mengenai sebuah potensi perkembangan hukum. Tetapi, potensi itu lebih dari sekadar sebuah kemung- kinan abstrak; potensi dimaksud merujuk pada sumber- sumber dan pola-pola khusus kekuatan direksional, yang-bersifat-mengarahkan. Sumber-sumber dan pola- pola khusus ini adalah tipe-tipe pemikiran hukum dan partisipasi hukum yang (1) menciptakan sumber- sunber daya untuk perubahan hukum dan (2) dengan sendirinya efektif dalam membangkitkan harapan dan tuntutan baru.
Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasi- tasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga negara. Tetapi ada satu hasil yang tidak diduga kemunculannya, yaitu mendorong sebuah sikap kritik yang memberikan sumbangan terhadap tergerusnya rule of law. Sikap ini bukanlah sebuah pandangan ideologis, karena model the rule of law lebih mungkin untuk menerima kepa- tuhan kepada otoritas daripada menerima kritik atas otoritas. Namun pelaksanaan praktis sistem ini mene- kankan pada arah yang lain. Ketika institusi-institusi dan prosedur-prosedur hukum otonom berkembang, kritik atas otoritas menjadi pekerjaan sehari-hari komu- nitas hukum. Hal ini nyata dalam semangat teknis yang dengan semangat itu mereka menganalisis, menginter- pretasikan, dan mengelaborasi arti peraturan-peraturan, dan dalam komitmen mereka secara sadar terhadap keteraturan prosedural. Komitmen ini menempatkan pengadilan dalam urusan menentukan kesempatan- kesempatan untuk menyatakan klaim-klaim. Jadi, advokasi menjadi lawan ajudikasi sebagai paradigma tindakan hukum. Hasilnya, bagaimanapun tidak diharap- kannya, adalah sebuah ilmu hukum yang berpusat pada hak (rights-centered jurisprudence).
Advokasi tidak menerima hukum begitu saja. Advo- kasi menggunakan segenap sumber-sumber analisis hukum untuk memperjuangkan penerapan suatu per- aturan tertentu daripada peraturan lainnya, untuk mem- benarkan sebuah interpretasi khusus, untuk menjadi dasar pembelaan, untuk menghadirkan rekonstruksi fakta yang bersifat melayani diri sendiri. Jadi, advokasi mendorong penegasan diri dan kritik tajam atas otoritas yang diterima. Dampak jangka panjangnya adalah untuk membangun di dalam tertib hukum sebuah dinamika perubahan, dan untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah- masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Muncullah sebuah visi, dan suatu kemungkinan dirasakan, akan sebuah tertib hukum yang responsif, yang lebih terbuka ter- hadap pengaruh sosial dan yang lebih efektif dalam menangani permasalahn sosial. Bab berikut adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri utama dari visi dan kemungkinan tersebut.
Sumber bacaan buku Hukum Responsif Karya Philippe Nonet