PEMILU SEBAGAI IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI, DAN HAM
- 30 July 2021
Salah satu pilar penting demokrasi adalah terselenggaranya pemilu secara teratur, dan tetap tegaknya nilai-nilai demokrasi secara konsisten. Suatu negara (penganut demokrasi) bila menyelenggarakan pemilu secara teratur, hal itu menunjukkan pilar formal dari demokrasi itu sendiri. Namun, dalam banyak kasus ternyata pemilu bukanlah tolok ukur akurat untuk menilai demokratis tidaknya suatu negara.
Di banyak tempat, tidak jarang dilakukan pemilu secara reguler, namun pelaksanaannya jauh dari prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Pemilu baru dapat dikatakan sebagai tolok ukur demokrasi, jika prosesnya dilakukan secara bebas dan adil. Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi, dikalangan ilmuwan politik tidak terdapat konsesus tentang makna demokrasi itu. Banyak elite di negara-negara yang tergolong totaliter dan otoriterpun juga mengklaim pemerintahannya tergolong demokratis. Dari segi partisipasi, demokrasi menjunjung tinggi adanya keterlibatan yang lebih besar warga negara dalam proses-proses politik. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak saja melibatkan banyak orang tetapi juga mempertimbangkan beragam kepentingan. Konsekuensinya, proses demokrasi itu tidak hanya berisikan kesempatan yang lebih besar kepada semua orang (equal opportunities), juga adanya kesejahtraan yang lebih adil kepada semua warga negara.
Secara ideal, proses demokrasi sebagaimana gagasan di dalam teori Deliberative Democracy berangkat dari tiga tantangan yaitu:
“ ... (1) adalah apa yang disebut: the inclusive constraint. Di dalam hal ini semua pihak harus dipandang sama untuk ikut memilih, mengenai bagaimana memecahkan masalah-masalah bersama, meskipun pilihan yang dihasilkan tidak harus didukung oleh suara bulat (a unanimous vote). (2) adalah the judgment constrain. Sebelum diadakan pe mungutan suara semua anggota yang terlibat dalam proses itu diasumsikan memiliki perhatian bersama mengenai masalah yang akan dipecahkan. (3) adanya the dialogical constraint yaitu bahwa semua pihak harus terlibat di dalam dialog yang terbuka, tanpa adanya paksaan antara yang satu dengan yang lain, apakah hal itu dilakukan di dalam konteks forum yang tersentralisasi, maupun yang terdesentralisasi.”
Tantangan tersebut relatif lebih mudah dipecahkan ketika masyarakat sudah memiliki informasi yang cukup (well-informed), akan tetapi ketika masyarakat terfragmentasi secara sosio-kultural termasuk adanya kesenjangan di dalam kepemilikan informasi, tantangan seperti itu tidak mudah untuk dipecahkan. Tuntutan bahwa demokrasi itu harus memberi otonomi yang lebih luas kepada individu-individu warga negara, itu tercermin dari adanya upaya untuk membawa para individu itu terlibat secara langsung di dalam proses-proses politik. Tuntutan yang demikian itu, membawa kembali diskursus demokrasi langsung (direct democracy) yang pernah terjadi pada masa Yunani Kuno. Hanya saja, dalam konteks kontemporer, demokrasi langsung tidak terlepas dari pemahaman yang luas yang mencakup beranekaragam proses pembuatan keputusan, termasuk pertemuan antar warga kota, adanya tuntutan pilihan ulang yang dilakukan warga, inisiatif, dan berbagai bentuk refrendum. Munculnya diskursus demokrasi langsung itu, tidak berarti bahwa sistem perwakilan politik lalu kehilangan esensinya. Saat ini, nampak secara jelas bahwa demokrasi itu disinonimkan dengan sejumlah bentuk sistem perwakilan Fakta bahwa konteks nation-state sekarang, termasuk local state itu berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Yunani Kuno, dan tidak serta merta membawa proses demokrasi langsung. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah: konsep perwakilan politik yang terjadi sekarang ini tidak bisa lagi mengacu, misalnya pada pandangan Thomas Hobbes yang melihat perwakilan politik sudah memiliki authority untuk mewakili kelompok terwakili, bisa berbuat apa saja atas nama terwakili. Perwakilan politik juga tidak semata-mata dipahami secara formal yang dihasilkan oleh sistem pemilu (electoral system). Perwakilan politik juga dipahami dalam konteks relasi yang lebih intens, adanya trust dan akuntabilitas antara yang mewakili dengan yang diwakili. Para wakil itu secara prosudural memperoleh trust dari konstituen melalui pemilu.
picture credit from pinterest