KONSEKUENSI-KONSEKUENSI DEMOGRAFI
- 11 December 2022
Ukuran dan komposisi profesi hukum menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mendasar bagi sistem hukum. Baik litigasi “didorong oleh tuntutan” ataupun tidak (Bevan et al. 1994; Bevan 1996; Cross 1992), litigasi sangat beragam bergantung jumlah pengacara, yang juga mempengaruhi akses kepada layanan hukum (Sander dan Williams 1989). Distribusi pengacara di sepanjang peran profesional diartikulasikan dengan struktur sistem hukum. Adalah bukan merupakan kecelakaan jika tingkat litigasi sipil lebih tinggi di negara-negara yang menganut common law daripada civil law (namun lihat Wollschlager 1998) atau sistem common law meningkat hingga dua puluh kali lebih banyak ketimbang praktisi swasta menjadi hakim, semntara kategor-kategori tersebut kira-kira sama dengan sistem inkuisitorial civil lawi (Abel 1988, tabel 1.1). Di Amerika, praktek swasta dibagi menjadi dua lingkungan yang sama-sama eksklusif, satu
melayani individu biasa dan perusahaan kecil, yang lain melayani individu kaya dan korporasi besar (Heinz dan Laumann 1982; Heinz et al. 2005). Ini berbeda dalam latar belakang pencara (afi liasi kelas dan etnoreligius), pelatihan (sekolah hukum), struktur praktek (sendirian atau firma kecil versus firma global raksasa), status, dan renumerasi. Pada dua dekade terakhir kita bisa menyaksikan proporsi upaya pengcara yang bekerja untuk orang/ perusahaan kecil menyusut dari 40 menjadi 29 persen sementara proporsi pengacara yang bekerja untuk klien korporat meningkat dari 53 menjadi 64 persen (Heinz et al. 2005, tabel 2.1). Hal ini menimbulkan konsekuensi tidak hanya bagi akses pada representasi melainkan juga bagi kesetaraan hal yang esensial bagi sebuah sistem lawan untuk menghasilkan keadilan.
Karena proyek profesional berupaya meningkatkan status kolektif serta mendapatkan monopoli rente dan memperkecil kompetisi intra profesi (Larson 1977; namun lihat juga Karpik 1999), hal itu mengeluarkan aspiran berdasar kelas, ras, dan gender. Untuk merespons hak-hak sipil dan pergerakan feminis, profesi hukum baru-baru ini mengalihkan tujuan mereka dari eksklusivitas menjadi representativitas (Abel 2003, bab 4). Jumlah wanita dengan cepat naik mencapai setengah dari keseluruhan, meski kemajuannya dalam hierarki profesional terhalang oleh kesulitan untuk mengombinasikan kerja dan pengasuhan anak (Epstein 1993; Hull dan Nelson 1998; Kay dan Hagan 1998; Epstein et al 1999; Schultz dan Shaw 2003; Wallace 2004). Meski terjadi keberhasilan dalam tindakan afi rmatif (Bowen dan Bok 1998; Lempert et al. 2000) dan dukungan yang didapatkannya dari Mahkamah Agung (Grutt er v Bollinger 2003), kesetaraan rasial menjadi lebih elusif (Chambliss 1997). Beragam profesi hukum merupakan hal yng dibutuhkan namun tidak ada kondisi yang cukup untuk memberikan kursi yang bisa merepresentasikan populasi yang lebih besar. Hakim Amerika direkrut dari beragam sekolah hukum: hakim federal dari sekolah yang lebih elite (dengan memperhatikan geografi ), negara bagian dari sekolah hukum lokal yang lebih baik. Wanita terlalu terwakili di antara hakim civil law (meski tidak pada level tertinggi) (Abel 1989, 118) karena penunjukkan bersifat meritokrasi (bukan politis, seperti di Amerika), ibu lebih sesuai dengan jam layanan sipil ketimbang praktisi swasta, dan hakim memiliki lebih sedikit diskresi (dan lebih sedikit status) ketika dikodekan ketimbang preseden. Beberapa kalangan menyatakan bahwa wanita memiliki gaya khas dalam mengajukan argumen moral dan ketika menjadi pengacara, yang termanifestasikan ketika mengadili (Menkel-Meadow 1989).
Sumber Bacaan Buku hukum dan politik Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia