PROSES PERADILAN DAN SANKSI INTERNASIONAL ATAS PELANGGARAN HAM
- 19 September 2021
Proses peradilan Internasional mengacu pada peraturan yang digariskan dalam Internasional Criminal Court (ICC) atau mengacu kepada yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI). Peradilan HAM
Internasional pada dasarnya bertitik tolak dari dua persoalan utama yaitu sebagai berikut.
1. Pengakuan (Acknowledgement)
Pengakuan tentang adanya pelanggaran HAM di masa
lampau.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Menghukum pelaku pelanggar HAM yang berat dan sekaligus mengembalikan harkat dan martabat korban pelanggaran HAM tersebut. Dalam pelaksanaannya ada pendapat yang pro dan kontra terhadap konsep pengakuan sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Pendapat yang pro dan kontra tersebut berpusat pada masalah penghukuman (stencing) sebagai salah satu konsekuensi hukum dan peradilan HAM Internasional.
Pendapat ProKontra
- Penghukuman dapat memelihara keadilan bagi korban (Retributif Justice).
- Memperkuat legitimasi pemerintahan transisi.
- Mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
- Penghukuman dapat menimbulkan pembalasan dendam.
- Menciptakan distorsi sosial yang berkepanjangan.
- Tidak relevan dengan pelanggaran ham.
Konsekuensi jika suatu Negara tidak menegakkan HAM
Konsepsi tentang HAM dewasa ini telah berkembang pesat dari wujud yang sempit seperti paham liberalisme dan individualisme menuju ke arah paham kemanusiaan yang lebih luas dan lebih mendalam. Itulah yang menyebabkan mengapa HAM harus ditegakkan di setiap negara. Karena kalau tidak, maka konsekuensinya negara yang mengabaikan HAM akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hubungan dengan negara-negara lain di dunia berupa sanksi nasional, regional, dan internasional.
Pada dasarnya kekuatan penunjang utama HAM adalah kekuatan moral dan hati nurani kemanusiaan yang didukung oleh kekuasaan pendapat umum dunia. Oleh karena itu, perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar negara tersebut dapat melaksanakan fungsi perlindungan dan penegakan HAM sehingga eksistensi keutuhan wilayah serta kesatuan politik negara tersebut tidak diancam dan dibahayakan oleh penegak HAM.
Kasus-kasus di negara yang tidak menegakkan HAM pada umumnya disebabkan belum dipahaminya konsep HAM yang modern dan adanya akses pelanggaran disiplin serta tata tertib oleh beberapa oknum di lapangan. Oleh karena itu, pengertian-pengertian HAM dan kaitannya dengan kehidupan perlu dimasyarakatkan ke seluruh kalangan dan lapisan.
Sanksi Internasional atas Pelanggaran HAM
Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku, melainkan degradasi terhadap kemanusiaan dengan cara merendahkan martabat dan derajat manusia. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu identik dengan pelanggaran hukum walaupun terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dan tujuan tertentu dan bersifat kolektif baik berdasarkan agama, etnik, atau ras tertentu.
Dewasa ini pelanggaran HAM tidak sebatas yuridikasi nasional, melainkan sudah menjadi yuridikasi internasional. Menghadapi masalah pelanggaran HAM yang terjadi di setiap negara di dunia, diperlukan sanksi internasional yang mengacu kepada ketentuan dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) atau SMPI atau Statu Roma (SR. 1998) atau dapat juga mengacu kepada praktik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti di Rwanda (1994).
Jika dianalisis secara seksama jiwa SMPI/SR terletak pada mukadimahnya yang antara lain berbunyi bahwa “Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI) bersifat komplementer terhadap yuridiksi pengadilan nasional”. Hal ini berarti jika di suatu negara terjadi kasus pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi) yuridiksi MPI tidak otomatis berlaku di negara tersebut.
Namun ada ketentuan lain dalam SMPI/SR yang menyatakan bahwa yuridiksi MPI dapat memasuki wilayah suatu negara jika negara tersebut tidak berkeinginan atau tidak mampu melaksanakan tugas penyidikan atau penuntutan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Proses peradilan atau putusan pengadilan yang dijatuhkan ditujukan untuk melindungi seseorang dari pertanggungjawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam SMPI/SR.
2. Proses persidangan ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili seseorang ke hadapan sidang pengadilan.
3. Persidangan dilaksanakan tidak secara independent atau bersifat memihak sehingga tidak konsisten dengan tujuan pemberian sanksi melalui sidang pengadilan.
Ketentuan mengenai prakondisi dalam SMPI/SR 1998 diperluas dalam Statu Mahkamah Ad Hoc Rwanda dan bekas jajahan Yugoslavia dengan menambah satu prakondisi lain yaitu jika proses peradilan nasional mendakwa pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana biasa (ordinary crimes). Seluruh ketentuan mengenai prakondisi tersebut disebut prinsip Inadmissibility. Ketentuan tentang prinsip ini bersifat unik dan mengandung standar ganda. Di satu sisi kedaulatan hukum negara anggota PBB diakui dalam melaksanakan sanksi/proses peradilan pelanggaran HAM, tetapi di sisi lain dapat dikesampingkan jika prakondisi yang ditetapkan dilanggar. Dengan ketentuan ini secara tidak langsung, status hukum dan yuridiksi MPI berada di atas seluruh sistem peradilan nasional sehingga dapat dikatakan MPI merupakan suprapengadilan nasional.
Referensi bacaan Hak Asasi Manusia Karya Sri Widayati, S.Pd
(illustration from pinterest and belong to the owner)