PENGERTIAN PERKAWINAN
- 23 May 2022
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006:35). Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membemtuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal (M. Idris Ramulio, 1985:147).
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bahasia Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh (Kamus Besar Bahas Indonesia, 1994:456).
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila (Soedharyo Saimin, 2002:6). Ali Afandi menyatakan perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri-ciri tertentu (Ali Afandi, 1984:94).
Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah putus untuk mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan tidak ada jalan lain untuk mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selama-lamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai 4 (empat) unsur, yakni :
- Ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali menpelai perempuan dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan yang sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluarga bahagia dan kekal.
- Antara seorang pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan perkawinan menurut UU perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi isteri. Dengan demikian pasal 1 UU perkawinan menganut azas monogami.
- Membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya perkawinan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan, kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga harus mampu membawa ketenangan dan ketentraman sampai akhir hayatnya.
- Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus berdasarkan pada ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama. Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang diatur dalam hukum agama.
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan
picture from google and belong to owner