Tanah Negara
- 01 December 2021
Tanah Negara adalah tanah yang belum dilekati dengan hak atas tanah berdasarkan UUPA, seperti: Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan hak-hak lainnya. Namun demikian, biasanya di atas tanah negara juga pada umumnya, sudah ada hubunganhubungan hukum dalam derajat tertentu. Hubungan itu belum dapat disebut sebagai hak atas tanah, namun hubungan itu sudah ada sebagai hubungan yang mendahului hak atas tanah.
Secara substansial, tanah Negara pada rezim sebelum UUPA dapat dikelompokkan pada 2 (dua) perbedaan utama yaitu antara vrijlandsdomein (tanah negara bebas) dan onvrijlandsdomein (tanah negara tidak bebas). Didalam sistem Hukum Tanah Nasional tidak dikenal perbedaan substansi yang sedemikian rupa, karena secara konsepsional seluruh tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanah yang dikuasai oleh Negara berdasarkan hak menguasai dari Negara (HMN).
Menurut Effendi Perangin, ada 4 (empat) kemungkinan tipologi/jenis dari tanah negara, yakni:
1. Sejak semula tanah negara
Pada jenis/tipologi ini berarti tanah negara yang sejak semula berstatus tanah negara, belum pernah ada hak pihak tertentu selain negara. Tanah negara jenis ini tentu sudah sangat sulit ditemukan pada daerah yang berpenduduk.
2. Bekas tanah partikelir
Tanah negara bekas tanah partikelir merupakan konsekuensi dari UU No. 1 Tahun 1958 yang menghapus semua tanah partikelir di Indonesia. Penghapusan tersebut menyebabkan tanah partikelir menjadi tanah negara.
3. Bekas tanah hak barat
Tanah negara bekas tanah hak barat merupakan implikasi yuridis dari ketentuan konversi tanah-tanah hak barat, yang menyatakan bahwa tanggal 24 September 1980 merupakan habisnya waktu berlaku dari bekas tanah hak barat (kecuali sudah dikonversi menjadi Hak Milik). Batas waktu pengajuan permohonan tanah negara bekas hak barat agar dapat berdasarkan PMDN 3 Tahun 1979 adalah tanggal 24 September 1980. Perlu diingat, sekarang atau kapan pun, permohonan hak di atas bekas tanah hak barat itu masih boleh dilakukan, akan tetapi tidak lagi dihubungkan dengan PMDN No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat.
PMDN No. 3 Tahun 1979 ini merupakan penjabaran dari Keppres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat. Hal penting yang perlu dicermati dalam Keppres ini, antara lain, adalah ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hakbaru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir.
4. Bekas tanah hak
Suatu tanah hak dapat menjadi tanah negara karena hak yang ada di atasnya: dicabut oleh yang berwenang, dilepaskan secara sukarela oleh yang berhak, habis jangka waktunya, karena pemegang hak bukan subjek. Selanjutnya, PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa terjadinya tanah negara dari tanah hak bisa juga karena hak atas tanah itu dibatalkan.
Proses terjadinya tanah Negara dapat diklasifikasikan karena hal-hal sebagai berikut:
a. Tanah Negara yang sejak semula merupakan tanah negara. Tanah ini merupakan tanah yang sejak berdirinya negara Indonesia belum pernah dilekati sesuatu hak atas tanah apapun.
b. Tanah Negara yang berkenaan dengan UU/karena ketentuan UU menjadi tanah Negara. Tanah Negara ini sebelumnya merupakan tanah hak, akan tetapi dengan adanya perubahan politik pertanahan maka dilikuidasi menjadi tanah negara.
c. Tanah Negara yang berasal dari tanah hak yang telah berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi.
d. Tanah Negara yang berasal dari tanah hak dan telah berakhir jangka waktunya serta dengan kebijakan politik pertanahan tidak boleh diperpanjang lagi.
e. Tanah Negara yang karena penetapan pemerintah menjadi tanah Negara. Penetapan sesuatu areal menjadi hutan lindung, kawasan konservasi, suaka margasatwa dan sebagainya merupakan contoh konkrit dari tanah Negara ini.
f. Tanah yang menjadi tanah Negara akibat dari suatu perbuatan hukum, karena suatu pelepasan atau penyerahan hak.
g. Tanah Negara yang karena sesuatu peristiwa menjadi tanah Negara, seperti tanah timbul (aanslibbing).
h. Tanah Negara yang karena suatu perbuatan menjadi tanah Negara, misalnya diterlantarkan.
Ketika bidang tanah masih berstatus sebagai tanah negara, maka proses penerbitan sertipikatnya harus melalui proses permohonan hak. Langkahlangkahnya, pertama-tama pihak yang memiliki kepentingan mengajukan permohonan hak kepada pihak yang berwenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Untuk memastikan permohonan tersebut dapat dikabulkan atau tidak, maka dibentuklah Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A untuk Hak Milik, HGB, dan HP, sedangkan Panitia B untuk HGU). Apabila dapat dikabulkan maka otoritas pertanahan yang berwenang menetapkan SK Pemberian Hak. Di dalam SK tersebut dicantumkan kewajiban pemohon hak, seperti pembayaran BPHTB sebesar 5% dari Nilai Kena Pajak.
Setelah kewajiban itu dipenuhi barulah dilakukan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah itu menghasilkan bukti hak yang disebut sertipikat. Pendaftaran tanah pertama kali dalam proses pemberian hak ini berfungsi konstitutif, yakni melahirkan keadaan hukum baru, yakni mengubah status tanah negara menjadi tanah hak.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office