LANDASAN GLOBALISASI HUKUM: KOLONIALISME DAN HUKUM
- 09 October 2022
Keunggulan Amerika dalam kisah mutakhir globalisasi hukum mendukung analogi antara globalisasi hukum dan sejarah kolonialisme. Kekuatan kolonial Eropa terutama Prancis, Inggris Raya, Belanda, Portugal, dan Spanyol yang diinvestasikan untuk melegitimasi keuntungan kolonial mereka melalui hukum (Benton 2001; Mommsen dan deMoor 1992). Apa yang disebut “keluarga hukum” s common law versus hukum sipil merupakan hasil pertumbuhan dari beragam rejim kolonial. Globalisasi terjadi melalui ekspor hukum dan pendekatan legal dari pusat-pusat kolonial Eropa terhadap koloni-koloni di selatan.
Pendirian sistem hukum kolonial berperan pertama-tama untuk mengkooptasi dan mengintegrasikan para elite lokal. Namun, ternyata para elite lokal di Amerika Latin memiliki keturunan kelompok pengkoloni dididik di fakultas-fakultas hukum Eropa menjadi pemimpin pergerakan kemerdekaan. Ketka mereka berkuasa, mereka berupaya untuk menjaga esensi dari sistem hukum yang merepresentasikan bagian baik dari otoritas lokal. Para elite Amerika Latin, misalnya, terus mengirim anak-anak mereka ke Paris dan ke tempat-tempa lain untuk mendapatkan kredensial dan koneksi yang mendefi nisikan mereka sebagai tuan dan juga menjustifi kasi kekuasan mereka di tanah air. Para sarjana hukum mutakhir akan membawa pula gagasan-gagasan hukum paling baru untuk menunjukkan bahwa mereka berada di garda depan modernisasi dan kemajuan. Dalam hal ini terdapat semacam globalisasi hukum dalam hubungan impor dan ekspor yang terus berlangsung jauh setelah hubungan kolonial formal berakhir. Hubungan tersebut terjadi di antara dua negara secara spesifik Indonesia dan Belanda, India dan Inggris Raya, Brazil dan Portugal, misalnya dan dalam apa yang disebut sebagai hukum keluarga, hukum sipil, dan common law. Para lulusan fakultas hukum tersebut biasanya berasal dari para elite tuan tanah dan mendapat pendidikan di luar negeri di salah satu ibukota hukum cenderung menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan.
Globalisasi hukum yang dihubungkan dengan paruh akhir abad ke20, tidak bisa dipandang sebagai integrasi progresif dari beragam tradisi hukum atau keluarga ke dalam satu hal yang mengklaim universalitas. Terdapat transformasi besar pada periode setelah Perang Dunia II yang mendefi nisikan ulang pasar global dalam pendekatan dan teknologi hukum. Transformasi tersebut melibatkan sejumlah peristiwa yang berkaitan. Di Eropa, kedigdayaan hukum dan pengacara mengalami kemunduran ketika negara-negara Eropa semakin fokus pada isu-isu sosia dan negara kesejahteraan (Abel-Smith dan Stevens 1967). Para pengacara di negaranegara tersebut juga diindentifi kasi dengan kelompok konservatif yang cenderung menentang negara kesejahteraan. Peran hukum dan keunggulan para sarjana hukum mengalami kemunduran baik di Inggris Raya dan di Eropa kontinental pada era negara kesejahteraan. Di negara-negara bekas koloni aktivitas “negara developmental” juga mendapatkan penentangan dari para elite hukum yang teridentifi kasi dengan kelas tuan tanah. Di Amerika Latin, misalnya, para pengacara mengeluhkan bahwa mereka diganti oleh para ekonom dalam posisi-posisi penting pemerintahan (Dezalay dan Garth 2002), sementara di India para elite hukum yang diidentifi kasi dengan pergerakan kemerdekaan kehilangan presitis ketika para advokat terkemuka bergulat dengan kebijakan-kebijakan sosialis yang moderat dari Partai Kongres (Dezalay dan Garth 2006).
Hal yang sebaliknya terjadi di Amerika di mana posisi pengacara, meski seolah terancam oleh New Deal, yang ditentang oleh banyak pengacara korporat, berakhir dengan apa yang oleh para ilmuwan disebut sebagai “kesepakatan pengacara” (Shamir 1995). Pada periode setelah Perang Dunia II, Amerika berada pada posisi yang sangat kuat di dunia karena berhasil mengamankan kemenangan Sekutu, dan posisi hukum di Amerika juga cukup kuat. Globalisasi hukum yang mengalami akselerasi pada akhir perang dingin bisa dipahami sebagai produk dari juktaposisi historis tersebut.
Sumber Bacaan Buku Globalisasi Hukum Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia