Asas kebebasan berkontrak
- 16 November 2021
Asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata menjadi satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak konstruksi, hingga pada tahun 1999 lahir peraturan perundangundangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku jasa konstruksi, yaitu UU No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Pada umumnya posisi penyedia jasa selalu lebih lemah daripada posisi pengguna jasa. Dengan kata lain, posisi pengguna jasa lebih dominan dari pada posisi penyedia jasa. Hal ini diakibatkan karena terbatasnya pekerjaan konstruksi/proyek dan banyaknya penyedia jasa. Secara umum, kontrak konstruksi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yakni:
1. Versi pemerintah
Biasanya tiap departemen memiliki standar sendiri.Standar yang biasanya dipakai adalah standar Kementerian Pekerjaan Umum. Bahkan Departemen Pekerjaan Umum memiliki lebih dari 1 (satu) standar karena masing-masing direktorat jenderal mempunyai standar nya masing-masing. Namun sejak tahun 2007, sudah ada Peraturan Menteri PUPR No 31./PRT/M/2015 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi. Sehingga tidak ada lagi standar ganda yang berbeda-beda antar Sektor.
2. Versi swasta nasional
Versi ini beraneka ragam sesuai selera pengguna jasa/pemilik proyek.Kadangkadang mengutip standar Departemen atau yang sudah lebih maju mengutip sebagian sistem kontrak luar negeri seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals) atau AIA (American Institute of Architecs). Namun karena diambil setengah-setengah, maka wajah kontrak versi ini menjadi tidak karuan dan sangat rawan sengketa. Dengan adanya Peraturan Permen PUPR Nomor 31/PRT?M?2015, Perubahan Ketiga atas Permen PU Nomor 07/PRT/M/2011, tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi.maka yang dijadikan acuan dalam standar kontrak adalah sesuai dengan Peraturan Menteri PU tersebut. Jika ada modifikasi atau perubahan dalam kontrak jasa konstruksi, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak tanpa perlu ada perubahan drastis dari standar yang telah ditentukan pemerintah.
3. Versi swasta asing
Umumnya para pengguna jasa/pemilik proyek asing menggunakan kontrak dengan sistem FIDIC atau JCT. Namun, apabila swasta asing tersebut melakukan pekerjaan konstruksinya di Indonesia, maka sudah tentu yang digunakan adalah standar pemerintah sebagaimana terakhir diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 31/PRT?M?2015, Perubahan Ketiga atas Permen PU Nomor 07/PRT/M/2011, tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi.
Sumber: Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi (2019). Bandung
image from pinterest