Persoalan-persoalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
- 12 December 2021
Terkait dengan eksistensi MK ini memang ada persoalan, yakni adanya beberapa vonis MK yang dinilai melampaui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat. Selain itu, seperti disebutkan di atas, pengaturan konstitusi tentang pengujian peraturan perundang- undangan telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan antara konflik peraturan dan konflik orang dan atau lembaga. Masih ada soal lain yakni adanya putusan MK No. 005/PUU-V/2006 yang mengeluarkan hakim- hakim MK dari obyek pengawasan Komisi Yudisial.
Untuk masalah yang Pertama, ada beberapa putusan MK yang bersifat ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi; ada juga putusan yang dapat dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan pada pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lain padahal judicial review untuk uji materi yang dapat dilakukan oleh MK adalah bersifat vertikal yakni konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD, bukan masalah benturan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Karena itu MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body sebab dengan selalu berlindung di dalam ketentuan UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan- putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya.
Oleh sebab itu, menjadi wajar jika ada gagasan agar ada amandemen UUD dan/atau amandemen atas UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudikatif. Dalam melakukan pengujian UU atas UUD misalnya, MK harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian. Dengan demikian dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya. Harus diingat bahwa, seperti dikemukakan oleh KC Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu dibuat.Artinya ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dari setiap isi konstitusi yang harus dijadikan pegangan oleh hakim konstitusi jika ada undang- undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya sehingga MK harus melakukan pengujian. Relevan dengan ini, Thomas Paine juga mengatakan bahwa lahirnya konstitusi itu bukanlah tindakan pemerintah melainkan tindakan rakyat untuk mengatur pemerintahan negaranya dan pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan yang tanpa hak,sehingga pengujian undang- undang oleh MK juga harus berdasar pada kesepakatan yang menjadi aturan tentang tindakan rakyat itu. Dapat juga dirujuk di sini pendapat Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa konstitusi di dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena ia merupakan proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien sehingga pengujian undang-undang itu harus juga berpedoman pada original intent UUD yang merupakan dasar untuk mengendalikan tindakan-tindakan pemerintah, termasuk dalam membuat undang-undang tersebut.
Oleh sebab itu, tidak boleh ada kegiatan pemerintahan, termasuk dalam pembuatan undang- undang, yang berada di luar kendali konstitusi. Bahwa konstitusi dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat dibuat dapat juga disarikan dari pandangan Whinny ketika mengatakan bahwa konstitusionalisme tidak semata-mata menjadi nilai-nilai substantif yang dituliskan menjadi piagam konstitusi tetapi juga mencakup proses-proses aktual perubahan- perubahan konstitusi itu sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada setiap perkembangannya.
Dalam kaitan ini, maka dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam melakukan pengujian atau judicial review undang-undang terhadap UUD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan original intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya. MK hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apa pun. Pada umumnya pembatasan tugas yang demikian dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus atau pembatal norma). Ini penting ditekankan karena secara historis dan filosofis UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membolehkan MK mengintervensi ranah legislatif dengan ikut menjadi positive legislator (memberlakukan norma). Yang boleh dilakukan oleh MK hanyalah menjadi negative legislator (membatalkan norma) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif
Sumber bacaan Buku constiutional qestion karya Mahfudd MD, Prof., dkk
Illustration from pinterest and belong toth owner