Mohammad Natsir Menjadi Tahanan Politik Di Usia Senja
- 08 May 2022
Berdasarkan Penpres Nomor 3/1962 yang lalu diganti dengan Penpres Nomor 11/1963 itulah, Natsir dan kawan-kawan dikeluarkan dari tempat karantina politik masing-masing yang berpencaran, lalu dibawa ke Jakarta untuk dimasukkan lagi ke dalam Rumah Tahanan Militer (RTM). Pengawasan terhadap mereka juga dialihkan, yang semula di bawah kekuasaan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dalam keadaan SOB lalu diserahkan kepada kekuasaan Jaksa Agung. Menurut catatan Ajip Rosidi, “Natsir dan teman-temannya dimasukkan ke RTM
yang terletak di Jalan Budi Utomo Jakarta itu pada September 1963.”5 Di RTM ini, Natsir berkumpul lagi dengan Sjafruddin dan Boerhanuddin. Di sini juga ada para mantan pemimpin militer PRRI-Permesta, yaitu Ahmad Husein, M. Simbolon, Ventje Sumual, Runturambi, Pantouw, dan Nawawi.
Pada akhir Oktober 1965, para tahanan politik yang tadinya ditempatkan di Madiun, dipindahkan
pula ke RTM.6 Mereka adalah Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M. Yunan Nasution, M. Isa Anshary, E.Z. Muttaqien, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Imron Rosyadi, Soemarso Soemarsono, Mochtar Lubis, dan lain-lain sehingga semuanya ada 23 orang.
Oleh karena cukup banyak para tahanan di RTM ini yang berasal dari Masyumi, tercetus lelucon di antara tahanan bahwa RTM itu kepanjangannya adalah “Rumah Tahanan Masyumi”. Menyusul gagalnya pemberontakan PKI pada awal Oktober 1965, RTM juga diisi dengan para tahanan baru yang berasal dari PKI dan simpatisannya. Dengan demikian, situasi RTM menjadi penuh sesak, bahkan membuat suasana tidak enak bagi Natsir dan teman-temannya yang nonkomunis karena harus berkumpul dengan orang-orang komunis. Berkumpulnya dua kelompok tahanan ini bagaikan mencampur minyak dengan air. Oleh karena itu, para tahanan non komunis mengajukan permohonan agar mereka dipindahkan dari sana. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya “pada Februari 1966, Natsir dan para tahanan nonkomunis dipindahkan
dari RTM ke sebuah rumah di Jalan Tembok, Jakarta Kota.”7 Setelah jalan sempit itu diubah namanya menjadi Jalan Keagungan, maka rumah tahanan itu lebih dikenal dengan nama “Wisma Keagungan”.
Meskipun masih dalam penjagaan yang ketat dan penuh sesak karena didiami oleh sekitar 30 orang tahanan, keadaannya jauh lebih menyenangkan daripada di RTM. Selain tidak ada orang komunis di sana, mereka juga bebas berbuat dan bergerak di wisma itu, misal nya mendengarkan radio dan membaca koran untuk mengetahui perkembangan di luar tahanan. Mereka juga bebas menerima tamu, karena jam besuk tidak terlalu kaku seperti di RTM. Tidak hanya dari keluarga para tahanan yang berkunjung, tetapi juga dari masyarakat luas dalam jumlah yang besar. Mereka datang sendiri-sendiri atau beramai-ramai dari segala lapisan umat Islam untuk menemui para pemimpin mereka yang sedang di isolasi. Sebagai tanda simpati kepada keluarga besar “Bulan Bintang” yang sedang ditahan, mereka datang sambil membawa bingkisan yang cukup untuk semua orang yang ada di wisma itu, sehingga para tahanan yang bukan dari keluarga Masyumi pun ikut menikmatinya. Saking banyaknya, keluarga para tahanan sering kali membawa pulang bingkisan aneka makanan apabila selesai membesuk. Begitulah gambaran keakraban hubungan batin antara tokoh-tokoh Masyumi dengan kaum Muslim, yang terus berlanjut setelah mereka keluar dari tahanan.
Di luar rumah tahanan itu, situasi politik semakin panas. Rakyat turun ke jalan-jalan di seluruh wilayah Indonesia, bergabung dalam berbagai kesatuan aksi: KAPPI, KAPI, KAMI, KASI, dan sebagainya dengan tujuan yang sama menuntut pembubaran PKI dan penghancuran komunis sampai ke akar-akarnya. Generasi muda Islam pun tidak ketinggalan menuntut agar para tahanan nonkomunis dibebaskan, karena mereka merupakan korban langsung dari kezaliman rezim Soekarno yang disokong PKI.
Penguasa baru tampaknya tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi, karena memang tidak ada bukti kuat yang mengharuskan mereka ditahan, kecuali sekadar menjadi korban dari sebuah tirani yang tidak suka kebenaran dan demokrasi ditegakkan. Akhirnya, “pada 17 Mei
1966, sebagian tahanan politik dibebaskan”.8 Pada tahap pertama, yang dibebaskan adalah mereka yang menjadi korban fitnah dan yang pernah ditahan di Madiun, yaitu Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, M. Yunan Nasution, M. Isa Anshary, E.Z. Muttaqien, Sholeh Iskandar, Kiai A. Mukti, Muchtar Ghazali, Muchtar Lubis, Soebadio Sastrosatomo, Anak Agung
Gde Agung, Imron Rosjadi, S. Soemarsono, dan H.C.J. Princen. Barulah pada 26 Juli 1966,9 para tahanan mantan pemimpin PRRI-Permesta dibebaskan. Mereka adalah Natsir, Sjafruddin, Boerhanuddin, Assaat, M. Simbolon, Runturambi, Nawawi, Sumual, Pantouw, dan Ahmad Husein.
Dengan demikian, Natsir menjadi tahanan politik rezim Soekarno selama empat tahun empat bulan, yaitu dari Januari 1962 hingga Juli 1966. Dia dan teman-temannya ditahan bukan karena keterlibatannya dalam aksi PRRI-Permesta, karena peristiwa itu telah diampuni pemerintah dengan pemberian amnesti. Mereka ditahan karena dipandang membahayakan politik Presiden Soekarno, terutama terhadap ide Demokrasi Terpimpin. Mereka juga dinilai kontra-revolusi dan kontra-Nasakom. Penahanan ini, menurut Deliar Noer, memberi dampak positif dan negatif,
“Di satu pihak, penahanan itu menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa pemerintahan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin adalah penguasa yang zalim dan oleh karena itu harus ditumbangkan. Di pihak lain masyarakat hidup dalam suasana ketakutan. Hampir-hampir tak ada keberanian lagi untuk berbeda pendapat dengan Soekarno, apalagi menentang
kebijaksanaan politiknya.”10
Berkenaan dengan penjara dan tahanan politik pada masa tirani Demokrasi Terpimpin ini, ada baiknya disimak ungkapan Soemarso Soemarsono berikut ini,
“Penjara merupakan perkataan yang tidak sedap didengar, sebab selalu dihubungkan dengan dosa dan kejahatan. Tetapi, suatu waktu orang baik-baik tanpa dosa, dan bahkan tanpa sesuatu apa pun yang mengganggu orang lain, dijebloskan juga dalam penjara. Orang-orang ini diperlakukan di luar hukum, tanpa keadilan, bahkan dirampas hak-haknya yang asasi. Mereka itulah orang-orang politik, manusia-manusia pejuang yang sering-sering tidak punya kekayaan apa-apa, kecuali keyakinan politiknya. Dan akhirnya, kekayaan yang satu-satunya itu pulalah yang tidak bisa lagi dirampas dan dihilangkan, walaupun dipenjara!”11
Demikian kenyataannya, Natsir dan teman-teman seperjuangannya ditangkap dan dijadikan tahanan politik oleh Soekarno dengan tirani Demokrasi Terpimpinnya dan dukungan komunis PKI. Raganya terkurung di balik tembok penjara, tetapi jiwa dan keyakinan politik mereka tetap bebas dan terpatri kukuh. Zaman beredar dan musim berganti, Soekarno pun jatuh menyusul gagalnya pemberontakan PKI. Sebaliknya, Natsir semakin mencuat dan harum namanya di hati sanubari kaum Muslim, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.
Sumber Bacaan Buku Mohammaad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia Karya M.Dzulfikriddin