Mohammad Natsir Menghidupkan Demokrasi Di Usia Senja
- 23 May 2022
Meskipun dunia formal sudah tertutup bagi Natsir, sebagai Muslim pejuang, Natsir tetap mengikuti perkembangan politik Indonesia dan internasional. Ketika berlangsung perdebatan sengit sekitar masalah RUU Peradilan Agama dan RUU Pendidikan Nasional di DPR pada 1989, Natsir ikut berbicara dan menyampaikan pemikirannya kepada fraksi-fraksi di DPR.
Demikian pula ketika delegasi tokoh-tokoh Islam menemui pimpinan DPR untuk merevisi buku teks Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada 23 Agustus 1982, Natsir ikut sebagai anggota delegasi dan menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Menurut Natsir dalam pembicaraannya di DPR, “Buku PMP mengandung unsur-unsur: Pendangkalan agama, menyamaratakan agama-
agama, dan mempertentangkan agama dengan Pancasila.” Oleh karena itu, Natsir mengusulkan agar buku PMP itu tidak dipakai lagi, agar masalah agama diserahkan saja kepada guru agama yang telah ada di sekolah-sekolah, agar pemerintah dan DPR bersedia
membahas masalah PMP ini secara mendasar dan menyeluruh. Natsir juga menyatakan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan dalam pangkuan ajaran
Islam, Pancasila itu akan hidup subur sekali.
Alhamdulillah, Pemerintah Soeharto bersedia mendengarkan aspirasi tokoh-tokoh umat Islam dan merevisi buku PMP yang meresahkan itu, walaupun belum sepenuhnya memuaskan. Perhatian dan komitmen Natsir terhadap demokrasi dan penegakannya tetap besar sampai usia senjanya. Hal itu diperlihatkannya saat sebulan menjelang Pemilu 1992, secara mengejutkan Natsir membuat surat terbuka yang mengajak dan menganjurkan agar umat Islam mendukung
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).48 Natsir menyebut langkahnya itu sebagai usaha untuk mempertahankan sistem multipartai dalam kehidupan politik Indonesia, agar demokrasi tidak tenggelam di bawah mayoritas tunggal salah satu kekuatan sosial politik saja karena hal itu
dapat membuka peluang lumpuhnya fungsi kontrol lembaga perwakilan rakyat.49 Natsir tidak memiliki kepentingan pribadi dalam imbauannya itu, tetapi dia ingin agar demokrasi tetap hidup.
Demikianlah perjuangan dan peranan yang telah dikhidmatkannya sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia sampai menjelang wafatnya pada 6 Februari 1993. Akan tetapi, semua perjuangannya itu tidak tertuliskan dalam buku-buku sejarah Indonesia yang akan menjadi bahan bacaan dan kajian bagi para generasi muda bangsa. Dengan demikian, wajarlah apabila sebagian besar dari generasi muda sekarang tidak mengenal Mohammad Natsir. Padahal, Natsir termasuk salah seorang Bapak Pendiri Negara Indonesia ini. Pemerintah Indonesia, baik pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto, tidak mau menghargai jasa-jasa Natsir disebabkan perbedaan politik, walaupun sebenarnya Natsir tidak mengharapkan balas jasa terhadap apa-apa yang telah dikhidmatkan bagi negeri ini. Bahkan, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir saat Indonesia merayakan ulang tahun emas (50 tahun) kemerdekaan RI, pemerintah Soeharto tetap enggan mengabulkannya. Barulah pada peringatan Hari Pahlawan 1998, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie bersedia menganugerahkan Bintang Republik
Indonesia kepada Natsir.50
Alhamdulillah, pada era reformasi, tepatnya pada 10 November 2008, pemerintah Indonesia akhirnya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Mohammad Natsir.
Sumber Bacaan Buku Mohammaad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia Karya M.Dzulfikriddin
Illustration from google and belong to the owner