Tanah-tanah dengan hak ciptaan Pemerintah Hindia Belanda
- 12 December 2021
Yang termasuk golongan ini adalah hak Agrarisch Eigendom (AE) dan Landerijen Bezitrecht (LB). Kedua hak ini oleh Pasal II UUPA dipandang sebagai hak yang memiliki kewenangan seperti Hak Milik menurut UUPA sehingga keputusan politik hukum yang ditempuh oleh UUPA akan mengkonversi kedua hak tersebut menjadi Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA.
Hak AE yang disebut dalam Pasal 15 IS ayat (7) berasal dari Hak Milik Adat (HMA) yang atas permohonan pemiliknya, melalui suatu prosedur tertentu, diakui keberadaannya oleh Pengadilan. Pengaturannya dalam Koninklijk Besluit S. 1872-117 dan Ordonansi S. 1873-38. Sesungguhnya di dalam peraturan-peraturan tersebut hak itu disebut ‘eigendom’, namun dalam prakteknya disebut ‘agrarisch eigendom’ untuk membedakannya dari hak eigendom biasa, yaitu hak eigendom yang disebut dalam KUHPerdata. Jadi, Hak AE adalah suatu ciptaan Pemerintah Belanda yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat, yakni: hak yang pasti karena terdaftar dan hak yang dapat dibebani hak jaminan yang disebut hypotheek, tetapi bukan hypotheek yang diatur dalam KUHPerdata.
Cara memperoleh Hak AE ini adalah sebagai berikut:
- Pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana tanah tersebut terletak, agar pemohon itu ditetapkan sebagai pemilik tanah tersebut. Acara ini disebut ‘uitwijzing van erfelijk individueel gebruiksrecht’. Acara uitwijzing tersebut merupakan satu-satunya kemungkinan untuk di luar sengketa, yang artinya tanpa berperkara dengan pihak lain, meminta kepada pengadilan agar ditetapkan atau dinyatakan sebagai pemilik suatu bidang tanah Indonesia. Untuk tanah-tanah hak barat acara ‘eigendoms-uitwijzing’ diatur secara umum dalam Pasal 621, 622, dan 623 KUHPerdata.
- Setelah menerima permohonan, Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dengan perantaraan Kepala Daerah Kabupaten supaya mengumumkan permohonan tersebut di desa di mana tanah yang bersangkutan terletak selama 3 bulan. Pengumuman itu diadakan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang akan mengajukan keberatan terhadap permohonan uitwijzing tersebut.
- Kalau tidak ada yang keberatan, Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan itu dan menyatakan bahwa pemohon menghaki tanah yang bersangkutan dengan Hak Milik Perseorangan. Selanjutnya, turunan putusan pengadilan itu dikirimkan kepada Bupati dan setelah itu Bupati atas nama Gubernur Jenderal memberikan Hak Eigendom Agraria (Hak AE) kepada pemohon. Pemohon yang sudah ditetapkan sebagai pemilik itu mendapat suatu tanda bukti hak (eigendom acte) dan dicatat di dalam sebuah register. Setiap peralihan hak tersebut, demikian pula pembebanannya dengan hypotheek harus didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri.
Kesempatan untuk mengganti/mengkonversi Hak Milik Adat menjadi Hak AE ini jarang dimanfaatkan, karena acaranya dianggap sulit, lagi pula rakyat belum merasakan perlunya mempunyai hak tersebut. Selain itu, permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri, padahal rakyat memandang Pengadilan Negeri sebagai hakim pidana yang selalu memberi hukuman, sehingga lebih baik dijauhi. Ternyata dalam praktik, segala sesuatu yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang berkenaan dengan catatan peralihan hak agar tercipta kepastian hukum tidak ditaati.25 Kalau ditelusuri lebih lanjut, tidak jarang seseorang meminta Hak AE atas desakan sesuatu perusahaan, yang ingin menyewa tanahnya untuk jangka waktu yang lama; atau sebagai “akalan” seorang bukan pribumi yang ingin mempunyai tanah itu dengan hak eigendom, sebagai akibat pendirian Pemerintah Hindia Belanda, yaitu bahwa jika Hak AE secara sah jatuh di tangan orang bukan pribumi dengan sendirinya menjadi hak eigendom. Pada asasnya Hak AE tidak boleh dipindahkan kepada orang bukan pribumi, kecuali dengan ijin. Dalam larangan itu tidak termasuk peralihan karena pewarisan tanpa wasiat, percampuran harta karena perkawinan dan perubahan status. Pendirian Pemerintah Hindia Belanda tersebut banyak dipergunakan dengan “sebaik-baiknya” oleh orang-orang bukan pribumi yang ingin mempunyai tanah-tanah yang luas dengan hak eigendom. Mula-mula ia menyuruh seorang wanita Indonesia membeli tanah hak milik. Kemudian disuruhnya meminta Hak AE dan akhirnya diperistrinyalah wanita itu. Dengan perkawinan itu, wanita tersebut menjadi bukan pribumi dan tanah yang bersangkutan karena hukum menjadi hak eigendom. Karena percampuran harta tanah hak eigendom tersebut juga menjadi kepunyaan suaminya. Sebagai pranata ciptaan Pemerintah Belanda, H AE pada akhirnya juga dibuat untuk kepentingan Pemerintah Belanda sebagai penjajah, yakni melakukan eksploitasi pada masyarakat jajahannya.
Landerijenbezitsrecht diatur di dalam S. 1926-121. Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) menyatakan bahwa tanah-tanah landerijenbezitsrecht adalah tanah-tanah Tionghoa karena subyeknya terbatas pada golongan Timur Asing Tionghoa (Cina). Ditegaskan oleh Sudargo Gautama bahwa landerijenbezitsrecht adalah suatu hak istimewa yang diperoleh oleh orang-orang Timur Asing, terutam Tionghoa, yang memiliki hak usaha atas tanah-tanah partikelir yang telah dibeli kembali oleh Pemerintah ((Pasal 5 S. 1913-702. Landerijenbezitsrecht merupakan suatu pengganti dari lembaga ‘altijddurende erfpacht’ yang tadinya disediakan oleh pembuat undang-undang bagi orang-orang Timur Asing (perubahan diadakan dengan S. 1926-121. Dengan demikian, hakikat dari landerijenbezitsrecht sama dengan tanah usaha yang dipegang oleh orang-orang pribumi di atas tanah partikelir. Keduanya sama-sama “tanah usaha”. Perbedaannya, terletak pada subyek. Tanah usaha dipegang oleh orang pribumi, sedangkan landerijenbezitsrecht dipegang oleh orang Timur Asing Tionghoa.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014