Hukum Perkawinan Di Indonesia Sebelum Tahun 1975
- 23 May 2022
Sebelum UU Perkawinan dinyatakan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, hukum perkawinan di Indonesia di atur dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum yang berlaku untuk berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Berbagai macam hukum perkawinan tersebut antara lain:
- Hukum Perkawinan
Adat Hukum perkawinan adat hanya berlaku bagi orang-orang indonesia asli. Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal yang mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Sebagai contoh, pada umumnya suatu perkawinan adat didahului dengan pertunangan. Apabila pertunangan tersebut tidak dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan karena salah satu pihak membatalkan pertunangan tersebut, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali harta benda dan kerugiannya kepada pihak yang bersalah dan para pemuka adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu bapakan, untuk kebahagian rumah keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan (Hilman Hadikusuma, 1990: 23).
Dengan demikian tujuan perkawinan dalam hukum adat berbeda- beda, hal ini sangat tergantung pada lingkungan masyarakat adat yang bersangkutan, karena indonesia sebagai negara kepulauan dengan agama, adat dan budaya yang berbeda, semua ini tetap diakui, dihargai dan dijunjung tinggi oleh Konstitusi Negara Republik indonesia yang dilambangkan dengan Bhineka Tunggal Ika walau bercerai berai namun tetap bersatu dalam kerangka NKRI.
Pada umumnya sahnya perkawinan menurut masyarakat hukum adat indonesia sangat tergantung pada agama yang dianutnya, jika perkawinan sudah memenuhi syarat ditentukan oleh hukum agama, maka perkawinan itu sudah sah secara adat. Menurut Hilman Hadikusuma, 1990: 27-28) Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyakat Lampung beradat pepadun, walaupun perkawinan suami isteri itu sudah sah dilaksanakan menurut Hukum Islam, apabila kedua mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugruk adat) Lampung berarti mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini merupakan upacara perkawinan adat. Dikalangan orang Lampung tulang Bawang uapacara perkawinan adat ini dilaksanakan dengan acara “mosok majew (menyuap mempelai) dengan tindih sila”, yaitu kedua mempelai didudukan di atas kasur perkawinan, biasanya dihadapan puwade (tahta mempelai) menghadai sepiring besar nasi dengan lauk pauk baging, hati kerbau, ayam panggang dan lainnya, air minum segelas untuk mereka minum. Kedua mempelai duduk bersanding dipertemukan lututnya (tidih sila) disaksikan para pemuka adat, terutama kaum ibu dari kerabat kedua pihak yang mengikat tali perkawinan.
Upacara mosok dipimpin oleh tua adat wanita, biasanya isteri ratu punyimbang (pemuka) adat dan dibantu oleh beberapa wanita sebagai juru bicara dan pembawa syair perkawinan. Setelah siap semuanya, maka pimpinan (penglaku) acara mempersilakan mempelai pria melakukan acara pertama “nentang sabik” (melepas kalung leher mempelai wanita) dengan menyatakan “kutetang sabikmu dik mangei jadei cahyow begetow (kulepaskan kalung lehermu dik agar menjadi cahaya berita). Dengan demikian berakhirlah kedudukan mempelai wanita sebagai seorang gadis.
Acara selanjutnya dengan silih berganti para ibu wakil-wakil tua- tua adat dari kerabat mempelai pria dan wanita mengambil nasi dan lauk pauk dengan tangannya dan menyuapkan (mosok) pada mulut kedua mempelai silih berganti dan diberi minum dari satu gelas. Hadirin bersorak sorai bergembira. Selesai acara suap lalu penghulu acara mempersilakan pembaca syair membaca syair tentang gelar panggilan kedua mempelai. Kemudian pemuka adat dengan menggunakan kunci kamar mempelai mengetuk sedikit dahi kedua mempelai dan menyebut panggilan (amai) bagi mempelai pria, panggilan (inai) bagi mempelai wanita dan gelar- gelar (adek) keduanya. Panggilan dan gelar itu diumumkan kepada hadirin dengan memukul canang. Dengan demkian resmilah kedua mempelai menjadi suami isteri dan menjadi warga adat.
- Hukum Perkawinan Islam
Hukum perkawinan Islam berlaku bagi orang-orang indonesia asli yang beragama islam. Prinsip-prinsip perkawinan islam terkandung di dalam ajaran hukum Allah dan Sunnah-Nya. Sedangkan hal-hal mengenai penjelasan atau perincian lebih lanjut terhadap prinsip- prinsip tersebut dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih munakahat karya para mujtahid terdahulu, seperti fiqih munakahat karya Imam Syafi’i.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW) yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa, Cina (Tionghoa) dan Timur Asing.
- Hukum Perkawinan menurut Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli (Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama Kristen. Ordonansi ini mulai di undangkan pada tanggal 15 Februari 1933.
- Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken). Peraturan ini dibuat untuk mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada hukum-hukum yang berlainan, seperti orang Indonesia asli dengan orang Cina atau orang Eropa, orang Cina dengan orang Eropa, antara orang-orang Indonesia tetapi berlainan agama ataupun berlainan asalnya.peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1896, termuat dalam Staatsblad 1896 Nomor 158 dan telah mengalami beberapa perubahan.
Prof. Dr, Jamaluddin, SH, M.Hum Nanda Amalia, SH, M.Hum (2016) Buku Ajar Hukum Perkawinan