KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM KOSTITUSI INDONESIA
- 07 December 2021
Masalah kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi Indonesia, sudah dibahas dalam Bab 4. Berikut akan dibahas lagi perihal ini untuk me- lengkapkan bahasan terdahulu.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 22 September 2010 yang mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan oleh Profesor Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum dan Mantan Menteri Hukum dan HAM atas kesesuaian Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Re- publik Indonesia terhadap UUD 1945, kembali membuka mata publik, bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Dalam Putusannya tersebut, Mahkamah Kostitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ten- tang Kejaksaan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu ber- akhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan. Dengan demikian, pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan yang ditafsirkan sebagai kekuasaan eksekutif.
Permasalahan menjadi menarik, mengingat dalam salah satu per- timbangannya, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa terlepas dari apakah Jaksa Agung diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet, seharusnya masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden. Meskipun demikian karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka implementasinya dalam praktik di lapangan, menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian mengenai kedudukan Kejaksaan secara umum dan secara lebih khusus, jabatan Jaksa Agung dalam sistem ketatane- garaan di Indonesia menimbulkan ambivalensi tersendiri dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Sebagai suatu lembaga pemerintah- an yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, maka dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di suatu kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan Kejaksaan dalam mela- kukan penuntutan, berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.
Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melaku- kan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, penjelas- an Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa seperti yang digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors” dan “Interna- tional Association of Prosecutors”.
Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 sendiri menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang samar (prob- lematis, ambigu), karena memiliki tugas ganda (double obligation). Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka. Di sisi lain, kemerdekaan tersebut dapat menjadi rentan apabila pemerintah tidak benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, mengingat Kejaksaan merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Tugas ganda (double obligation) tersebut pada akhirnya justru kerap menimbulkan keraguan mengenai objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Banyak kalangan menganggap, mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.1
Sementara itu, timbul pula beberapa gagasan untuk mendudukan Kejaksaan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen bu- kan menjadi lembaga pemerintahan yang tidak berada di bawah ke- kuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan bersifat independen dan merdeka, dalam arti tidak terpe- ngaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.
Refrensi bacaan Buku Eksistensi Kejaksaan Dalam Konsitusi Di Berbagai Negara Karya Prof. EQ.RM Surachman; Dr. Jur (Can) Jan S. Maringka
Writer: Nazila Alvi Lisna, Yuriska
FOLLOW OUR SOCIAL MEDIA:
Ig : @sayapbening_official
Yt : Sayap Bening Law Office