DISTINCTION PRINCIPLE
- 03 July 2022
Sudah diketahui bahwa hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional. Akan tetapi, mungkin belum diketahui bahwa hukum perang merupakan bagian pertama
dari hukum internasional yang dikodifikasikan (tertulis).Tambahan 1977, hukum perang mencakup kurang lebih enam Sampai sekarang, dengan disetujuinya Protokol-protokol ratus artikel.
Hukum perang, seperti induknya, yaitu hukum internasional, berasal dan bersumber dari dunia Barat. Oleh karena itu , apabila dikatakan bahwa hukum perang antara lain bersumber pada kebiasaan bahwa hukum perang antara lain bersumber pada kebiasaan perang (customs of war), yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan perang di dunia Barat. Sekalipun di dunia Timur juga terdapat kebiasaan perang, namun pada waktu menyusun hukum perang, yang dijadikan sumber adalah (hanya) kebiasaan dunia Barat saja.
Konvensi pertama yang berhubungan dengan hukum perang di darat ditandatangani di Jenewa pada tahun 1864, yaitu konvensi tentang perbaikan keadaan yang luka-luka dalam tentara di lapangan. Hal ini tidak mengherankan karena satu tahun sebelumnya di tempat yang sama telah didirikan palang merah. Palang merah ini pada gilirannya didirikan setelah Henri Dunant pada tahun 1859 dengan mata kepala sendiri menyaksikan penderitaan para prajurit yang luka di dalam pertempuran di Solferino. Oleh karena itulah, konvensi-konvensi pertama dari hukum perang umumnya mengenai perbaikan nasib yang sakit dan luka-luka di medan pertempuran. Penyusunan hukum perang ini mencapai puncaknya dekat sebelum perang dunia pertama meletus.
Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombat dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan. Mengenai masalah ini Manual of Military Law dari Kerajaan Inggris yang dikutip oleh Draper, mengatakan bahwa kedua golongan itu, yaitu kombat dan penduduk sipil, masing-masing mempunyai privileges-duties- disabilities. Selanjutnya dalam manual tersebut dikatakan bahwa seorang harus memilih di dalam golongan mana ia masuk, dan ia tidak dibenarkan menikmati privileges dua golongan sekaligus. Di dalam cetakan tahun 1958, manual tersebut menambahkan bahwa pembedaan antara kombat dan nonkombat sekarang menjadi tidak jelas (blured). Pada masa itu yaitu dekade terakhir abad ke-19 tidaklah sulit untuk menentukan siapa yang turut dalam permusuhan dan siapa golongan sipil, karena angkatan bersenjata atau kombat memakai seragam yang jelas berbeda dari pakaian penduduk sipil.
Sekalipun pada waktu itu sudah ada wajib militer (com- pulsary military service) sehingga jumlah angkatan bersenjata sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan waktu sebelumnya, namun mereka semua memakai pakaian seragam. Dengan demikian, pada waktu itu orang secara cepat dapat menentukan siapa kombat dan siapa penduduk sipil. Perlu sekali lagi ditekankan bahwa apa yang diterangkan di atas tersebut terjadi di dunia Barat.
Di dalam konvensi yang berikutnya ditentukan bahwa seorang kombat yang jatuh ke tangan musuh harus diperlakukan sebagai tawanan perang.
Sumber bacaan buku pengantar hukum humaniter karya Prof. KGPH. Haryomataram, S.H.