Mohammad Natsir Menjadi Ketua Partai Masyumi
- 08 May 2022
Mohammad Natsir terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Partai Islam Masyumi dalam Muktamar IV yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 15-19 Desember 1949. Selain berhasil menyusun kepengurusan baru, muktamar juga memindahkan sekretariat PP Masyumi ke Jakarta, yang sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta. Selanjutnya Natsir selalu terpilih sebagai ketua partai pada setiap muktamar.
Barulah pada Muktamar IX pada 1959 di Yogya, dia digantikan oleh Prawoto Mangkusasmito. Itu pun karena Natsir tidak bisa hadir di medan muktamar, karena sedang berada di tengah hutan Sumatra dalam perjuangannya bersama PRRI menentang kezaliman rezim Soekarno dengan “Demokrasi Terpimpin”-nya.
Di bawah kepemimpinan Natsir, Masyumi tampil sebagai partai terbesar di Indonesia, sampai diadakan Pemilu 1955. Di bawah Natsir pula, menurut Fachry Ali, “Partai Masyumi mampu mengharubirukan politik Indonesia.” Keunggulan partai ini disebabkan Masyumi mempunyai kelompok think tank yang dapat diandalkan, yaitu gabungan tokoh-tokoh Muslim yang berpendidikan Barat dan yang berlatar belakang pesantren. Faktor kedua adalah karena pengaruh Natsir dalam partai memang terasa sangat besar. Hal itu dapat dimaklumi karena Natsir mempunyai kualifikasi intelek, di samping dia juga seorang yang fasih berbicara soal-soal agama dan terkenal alim. Oleh karena itu, wajar jika Natsir selalu terpilih sebagai ketua pada setiap muktamar, sehingga tepat apabila Republika menyebutnya sebagai “Ketua Legendaris Partai Islam Masyumi”.
Masyumi dan Pemerintahan Sejak awal Demokrasi Parlementer, yakni Kabinet Syahrir I, Masyumi telah memainkan kartu politik yang menentukan, dengan keikutsertaan tokoh-tokoh Masyumi dalam berbagai kabinet yang silih berganti. Adakalanya pula Masyumi dipercaya memimpin kabinet (pemerintahan) Republik Indonesia. Dibandingkan dengan masa kepemimpinan Soekiman yang hanya sekali, yakni Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam Kabinet PDRI, maka Masyumi pada masa kepemimpinan Natsir telah tiga kali memimpin langsung pemerintahan RI sebagai Perdana Menteri, yaitu Mohammad Natsir (Kabinet Natsir), dr. Soekiman Wirjosandjojo (Kabinet Soekiman), dan Mr. Boerhanuddin Harahap (Kabinet Boerhanuddin Harahap).
Selain itu, telah tiga kali pula Masyumi menjadi Wakil Perdana Menteri, yakni Abdul Hakim (Kabinet Halim/RI-Yogya), Prawoto Mangkusasmito (Kabinet Wilopo), dan Mr. Mohammad Roem (Kabinet Ali II/Kabinet Ali-Roem-Idham). Adapun pada masa Soekiman hanya dua kali menjadi Wakil PM, yaitu Mr. Sjamsuddin (Kabinet Amir Syarifuddin II) dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Kabinet Hatta II). Di samping itu, telah banyak tokoh Masyumi yang menjadi menteri pada pelbagai posisi penting dan strategis, seperti kementerian pertahanan, luar negeri, dalam negeri, penerangan, dan keuangan. Mereka telah berbuat maksimal sesuai dengan posisi dan peran masing-masing, dalam membangun dan membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Selain di bidang eksekutif (pemerintahan), Masyumi pun banyak mempunyai tokoh yang aktif di lembaga legislatif (parlemen). Sejak lembaga itu masih bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), DPR-RIS pada masa Republik Indonesia Serikat, DPR-Sementara setelah kembali ke bentuk Negara Kesatuan RI, sampai ke DPR dan Konstituante sebagai hasil Pemilu 1955. Mohammad Natsir, sebagai salah seorang tokoh dan kemudian menjadi Ketua Masyumi, juga aktif di lembaga-lembaga legislatif tersebut. Lebih dari itu, “Natsir bahkan dipercaya menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPR-RIS, DPR-Sementara, dan Konstituante” Dengan posisi yang sedemikian rupa, apalagi sudah terbukti dalam catatan sejarah, sangatlah sulit diterima akal sehat jika dikatakan bahwa Natsir dan Partai Masyumi, termasuk partai-partai Islam lainnya, tidak mau bersatu sikap dan mendukung pemerintah. Justru sebaliknya, Natsir dan Masyumi merupakan bagian langsung dari pemerintah itu sendiri. Namun, peranannya tidak dituliskan secara berimbang dalam buku-buku sejarah, bahkan terkesan dihapuskan dan disingkirkan.
Ikrar umat Islam untuk menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam tidak berlangsung lama. Kepaduan politik umat Islam hanya bertahan sebentar. Perbedaan kepentingan berbagai pihak yang terdapat di dalamnya segera menyeruak dan mengabaikan persatuan. Seperti dikemukakan sebelumnya. Masyumi adalah suatu partai yang bersifat federasi, yang menghimpun berbagai organisasi dan individu Muslim. Pada dasarnya, pelbagai organisasi dan individu yang masuk ke dalam Masyumi itu mempunyai kecenderungan politik dan keagamaan yang berbeda. Adakalanya perbedaan-perbedaan itu dapat dikompromikan, tetapi lebih sering tidak dapat dipersatukan. Selain itu, kepentingan-kepentingan pribadi dari tokoh-tokoh yang ada dalam Masyumi itu sering berbenturan.
Sumber Bacaan Buku Mohammaad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia Karya M.Dzulfikriddin