PROBLEMATIKA EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN
- 16 January 2022
Tingginya dinamika ketentuan hukum yang mengatur tentang Hak Pengelolaan selanjutnya disebut HPL, terkadang justru menimbulkan kesulitan dalam pemaknaannya secara khusus. Kesulitan pemaknaan HPL tampaknya juga sejak awal dialami oleh para penyusun UUPA. Di dalam UUPA itu sendiri tidak ditemukan pengaturan yang tegas dan jelas tentang HPL. Bahkan, istilah ‘Hak Pengelolaan’ tidak ditemukan dalam undang-undang yang menjadi sumber utama Hukum Tanah Nasional tersebut. Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya menyatakan: “Hak menguasai dari
Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.” Prof. A.P. Parlindungan berpandangan bahwa ketentuan inilah yang menjadi acuan awal lembaga hukum HPL dalam sistem Hukum Agraria Indonesia. Tegasnya, ketentuan itulah yang memungkinkan diterbitkannya hak baru yang ketika itu pada ketentuan Pasal 2 ayat (4) belum ada, kecuali hanya dikatakan sebagai ‘delegasi pelaksanaan Hak Menguasai Negara kepada daerah-daerah
otonom dan masyarakat hukum adat’.
Jika ketentuan di atas dijadikan rujukan, berarti isi dan sifat dari HPL akan lebih bernuansa publik, sebab HPL dipandang sebagai salah satu bentuk “dikuasakannya” Hak Menguasai Negara (HMN) kepada subjek hukum tertentu yang berupa badan hukum publik. Namun, nuansa publik dari HPL itu akan terasa sedikit mengalami degradasi makna ketika lebih lanjut diperhatikan Penjelasan Umum II (2) UUPA yang menyatakan sebagai berikut: “Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.”
Tarik ulur kepentingan untuk membawa Hak Pengelolaan dalam ranah privat, dapat kita jumpai dalam beberapa peraturan perundang-undangan, meliputi:
- Permendagri No. 1 Tahun 1967 diubah dengan Permendagri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Ps 12 tentang wewenang Mendagri membuat keputusan mengenai pemberian, perpanjangan/pembaharuan, menerima pelepasan, izin pemindahan hak serta pembatalan, HPL dimasukkan menjadi satu kelompok dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Guna Usaha.
- Permendagri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah. Dalam Ps 1 angka 1, penyebutan HPL sejajar dengan HM, HGU, HGB, dan HP. Juga dalam Pasaal 30 dan 31.
- Permendagri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan. Dalam Ps 2, penyebutan HPL sejajar dengan HGU, HGB, dan HP.
- UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. UU ini meneguhkan kedudukan HPL sebagai hak atas tanah dalam Ps 7 ayat (1) dan (2).
Dengan berbagai peraturan tersebut, membawa konsekuensi memperkecil kedudukan dan peran hak pengelolaan menjadi sebatas suatu hak atas tanah. Namun dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, kita juga melihat adanya upaya untuk mengembalikan karakter publik yang ada pada hak pengelolaan, diantaranya tampak pada beberapa peraturan perundangan di bawah ini:
- Tahun 1996 diterbitkan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah. Ps 1 angka 2 merumuskan definisi HPL sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan HPL. Ps 1 angka 14 menyatakan HPL adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
- Implikasi sifat publik HPL adalah:
- Subyeknya hendaknya adalah badan hukum publik yang tugas dan fungsinya melayani kepentingan publik bukan yang melakukan kegiatan komersial.
- Tujuan akhir pemberian HPL adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014
written by admin sayap bening