PENGACARA DAN KOLONIALISME ANTIKOLONIAL AMERIKA
- 15 December 2022
Posisi kuat pengacara di Amerika pasca Perang Dunia II dan orientasi ideologis mereka merefl eksikan sebuah pola historis yang termanifestasikan dalam kebijakan luar engeri Amerika. Hal yang menjadi globalisasi hukum pasca Perang Dunia II dibangun pada orientasi-orientasi awal tersebut yang dikembangkan sebagai bagian dari “strategi kolonial” Amerika pada abad ke-20. Dimensi hukum bisa dilacak dengan cara meneliti karier dari sekelompok kecil pengacara korporat yang terlibat dalam kebijakan luar negeri pada abad ke-20. Keturunan dan anak didik dari kelompok awal tersebut di Amerika dicirikan sebagai “kaum kebijakan luar negeri.” Penelitian sosiologis singkat terhadap karakteristik kelompok tersebut akan bisa membantu menjelaskan keberhasilan mereka sekaligus bentuk fenomena globalisasi hukum paling mutakhir.
Elihu Root menjadi Secretary of War dalam kabinet McKinley 1899 pada periode Perang Amerika-Spanyol ketika Amerika berupaya untuk melakukan konsolidasi terhadap kekuasaannya di Filipina. Root pada saat penunjukkannya lebih dikenal sebagai pengacara perusahaan. Para kliennya meliputi Sugrat Trust yang memiliki reputasi buruk, yang dia bantu bertahan dari ancaman yang ada dalam legislasi antitrust. Sebagai pengacara generalis yang memiliki koneksi kosmopolitan dan reputasi baik, Root dikenal sebagai pemecah persoalan bagi spekulasi kolonial baru yang problematik. Root menginisiasi peran bagi pengacara perusahaan dan terkenal di New York dalam kebijakan luar negeri Amerika pada abad ke-20.
Root harus berhadapan dengan perlawanan berkepanjangan di Filipina terhadap pendudukan Amerika dan di Amerika terhadap gagasan yang menyatakan bahwa kolonialisme tidak konsisten dengan nilai moral dan hukum. McKinley dan Root menggunakan Hakim William Howard Taft untuk membantu merespons tantangan tersebut. Taft , yang kemudian menjadi hakim ketua dari Sixth Circuit Court of Appeals dan dekan sekolah hukum Unirversity of Cincinnati, menerima permintaan tersebut dan menangani persoalan Filipina. Dia berpegang pada gagasan hukum Amerika untuk melengkapi pendudukan tersebut dengan misi sekuler yang sama dengan misi-misi religius yang diasosiasikan dengan Eropa. Alih-alih membuat koloni permanen, dia berupaya melegitimasi dominasi Amerika dengan cara melatih rakyat Filipina untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Tentu saja, terdapat kepentingan ekonomi dibalik sikap Amerika di Filipina dan di belahan bumi lainnya pada masa masa tersebut, namun kepentingan bisnis dikombinasikan dengan idealisme yang didorong dan diekspreikan oleh para pengacara perusahaan tersebut. Keterlibatan asing merupakan sebuah peluang untuk mentransplantasi nilai-nilai universal Amerika yang mereka representasikan meliput demokrasi, keterbukaan dagang, dan ruang lingkup luas bagi perusahaan swasta.
Beberapa kesan dari peran idealistik hukum ini bisa didapatkan dari kesaksian salah satu “pemberdaya” dominan di Filipina. George Malcolm merupakan seorang sarjana hukum muda dari University of Michigan yang pergi ke Filipina agar bisa “melihat negara saya menginisiasi sebuah sistem yang bisa mendorong terwujudnya pemerintahan mandiri rakyat Filipina... (dan) untuk mengambil posisi pasti yang mendukung kebijakan revolusioner anti kolonial Amerika” (Malcolm 1957, 23). Melalui inisiatif enterprener, dia membantu mendirikan University of Philippines College of Law pada 1911, dan menjadi dekan pertamanya. Tujuannya mendirikan sekolah hukum tersebut adalah “melatih para calon pemimpin negera tersebut. Para mahasiswa tidak hanya diajari dogma-dogma hukum yang abstrak; mereka juga dicekoki dengan prinsip-prinsip demokrasi.” Salah satu lulusan sekolah tersebut pada 1913 adalah Manual Roxas, yang merupakan presiden pertama Republik Filipina. Dengan demikian, dominasi imperial Amerika bisa dijustifi kasi melalui hukum dan demokrasi.
Para pemimpin Amerika menggunakan pengalaman Filipina tersebut untuk membangun argumen bagi pendekatan-pendekatan kebijakan luar negeri Amerika secara lebih umum. Dengan menunjukkan kemuakan kepada gaya imperium kolonial Eropa, misalnya, Taft sebagai presiden Amerika berupaya membuka pasar bagi bisnis Amerika melalui “diplomasi dolar” melalui perdagangan dan investasi bukan melalui penaklukan wilayah kolonial baru (Rosenberg 2003). Diplomasi dolar merupakan bagian dari gerakan untuk mempromosikan pemilu, mendorong reformasi ekonomi liberal, dan memfasilitasi investasi Amerika dalam bentuk pinjaman dan perusahaan swasta. Langkah tersebut membuka jalan bagi kebijakan Woodrow Wilson, yang menggantikan Taft sebagai presiden. Ideal-ideal tersebut sesuai dengan sbuah pandangan di mana pengacara perusahaan dan para kliennya akan menjadi sejahtera dalam sebuah hubungan anti kolonial yang sah yang pada saat yang sama mengukuhkan dominasi Amerika.
Lebih jauh, pergulatan melawan komunisme menjadikan hukum tidak dibutuhkan oleh para aktivis kebijakasan luar negeri yang dipertahankan Amerika pasca Perang Dunia II. Hukum juga bisa menjadi hambatan bagi perilaku Amerika jika ditafsirkan secara sangat literal atau diberlakukan secara global. Ketika perang dingin berakhir, justifikasi hukum bagi tindakan imperial Amerika memperoleh arti penting. Hukum mendapatkan otoritas dalam hubungannya dengan hubungan personal dan diplomasi. Meningkatnya perdagangan dan investasi, misalnya, membantu mempromosikan penyebaran firma hukum perusahaan ala Amerika ke berbagai kota besar dunia. Hilangnya legitimasi negara otoriter yang dilanggengkan oleh perang dingin membantu memunculkan gerakan hak asasi manusia internasional. transformasi tersebut bisa dilihat pada tiga wilayah yang dipilih sebagai representasi globalisasi hukum dalam politik dan ekonomi. Topik pertama adalah arbitrasi komersial internasional bagi transaksi bisnis. Topik kedua adalah hukum perdagangan yang mengatur perdagangan internasional. ketiga adalah hak asasi internasional yang berkaitan dengan negara-negara penandatangan.
Sumber Bacaan Buku Globalisasi Hukum Karya Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen dan Gregory A. calderia