HUKUM GANDA DAN KEADILAN KELAS
- 18 July 2022
Gagasan mengenai “keadilan kelas” memberikan gambaran singkat tentang bagaimana hukum melegiti- masi, dan secara paksa mendukung, sistem subordinasi sosial. Hukum represif melembagakan keadilan kelas. Di sini, lagi-lagi “kemiskinan kekuasaan”-lah yang me- nyebabkan represi. Semakin lemah sumber daya tatanan politik, dalih “penjagaan perdamaian” akan semakin menuntut negara untuk mempertahankan status quo. Pemegang kedaulatan awal meminjam kekuasaan dari mereka yang kuat, sehingga mendukung hirarkhi hak- hak istimewa. Institusi-institusi politik yang lahir kemu- dian tetap terdistorsi oleh partisipasi yang tidak seim- bang dari mereka yang berkuasa dan mereka yang lemah.29 Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena:
1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak isti- mewa dengan, misalnya, memaksakan tanggung jawab kepada, namun mengabaikan klaim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak- hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkan- nya hak suara dari kelas bawah. Sebagai contoh, ketika cita-cita liberal tentang kontrak dan persamaan meng- hapus hukum kebiasaan tentang tuan dan pelayan, cita- cita tersebut juga mengurangi kapasitas hukum untuk melihat kenyataan tentang kekuasaan dalam hubungan perburuhan. Kebebasan berkontrak memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga meletakkan dasar bagi hubungan subordinasi yang tidak diatur. Dalam bahasa Karl Renner, dengan kontrak,
apa yang merupakan kontrol terhadap kepemilikan dalam hukum, dalam kenyataannya menjadi kontrol manusia terhadap manusia lainnya. Kita melihat bahwa hak milik karenanya memiliki suatu fungsi sosial baru. Tanpa perubahan apa pun dalam norma- nya, di bawah ambang kesadaran kolektif, suatu hak de facto ditambahkan pada penguasaan secara mutlak oleh individu terhadap barang-barang berwujud. Hak ini tidak berdasar pada aturan hukum yang khusus. Ini adalah kekuasaan kontrol, kekuasaan untuk mengeluarkan sejumlah perintah dan memak- sakan pelaksanaan perintah-perintah tersebut . . . Kita kemudian melihat bahwa aturan tentang ke- kuasaan dan perburuhan tetap tersembunyi pada seluruh doktrin hukum borjuis yang sama sekali tidak menaruh perhatian pada apa pun kecuali pada batasan-batasannya yang paling formal, umum dan tidak terkait, yakni landasannya pada kontrak kerja.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai “tanggungan negara”, ber- gantung kepada lembaga-lembaga khusus (kesejah- teraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klasifi- kasi resmi (misalnya kriteria yang memisahkan kelom- pok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola baru sub- ordinasi.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Represi hanyalah satu sisi dari keadilan kelas. Sisi lainnya adalah konsolidasi hak istimewa. Ketika kelom- pok yang dominan mempertahankan perlindungan negara bagi diri mereka dan menggunakan otoritas negara untuk memperoleh hak-haknya, di sana muncul sistem ganda dalam hukum. Hukum bagi kelompok yang tidak mempunyai hak-hak istimewa kebanyakan bersifat “publik”, dilaksanakan oleh badan-badan negara yang khusus, disesuaikan dengan tuntutan-tun- tutan politik dan kelayakan administrasi; urusan hukum semacam ini adalah pengawasan; etosnya bersifat preskriptif (memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan) dan menitikberatkan pada sanksi. Namun, bersamaan dengan adanya hukum semacam ini, kita melihat pula tumbuhnya suatu hukum yang lain, yang terpusat pada hak (rights-centered), bersifat fasilitatif, dan umumnya merupakan hukum “privat”. Hukum bagi kelompok yang mempunyai hak-hak istimewa ini melindungi kepemilikan dan menegakkan kesepakatan sosial yang terlepas dari hukum negara, contohnya dalam hal pembagian harta kekayaan, kebe- basan berkontrak, dan kebebasan untuk berasosiasi. Hukum semacam ini relatif bebas dari campur tangan politik, dilaksanakan oleh pengadilan yang independen, dibentuk oleh preseden daripada oleh legislasi. Di sini negara memainkan peran pasif; negara berperan selaku pada saat ada sengketa perdata dan selaku penjaga peraturan yang tidak dibuatnya.
Jadi, dinamika di mana tertib hukum memperta- hankan subordinasi sosial ini secara paradok merupakan sumber utama evolusi untuk menjauh dari hukum represif menuju lembaga-lembaga hukum yang bebas dari, dan menjinakkan, kekuasaan negara. Institusi- institusi hukum ini meletakkan dasar-dasar bagi “rule of law” yang mampu membuat pemerintah akuntabel. Dengan kata lain, hukum ganda memasukkan meka- nisme transisi menuju hukum otonom ke dalam struk- tur yang paling mendasar dari hukum represif.
Sumber bacaan buku Hukum Responsif Karya Philippe Nonet