TEORI TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM)
- 16 July 2021
Pengertian, sejarah perkembangan HAM, dan teori spektrum
Pada umumnya yang dimaksud dengan HAM adalah human right, meskipun bila diteliti secara mendalam, terjemahan yang betul dari istilah human right adalah hak manusia, bukan HAM. Soenarko dalam Susunan Negara Kita menerjemahkan human rights menjadi hak-hak manusia, dan hak-hak dasar. Manusia, atau hak-hak manusia yang bersifat pokok yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun juga; Koentjoro Poerbopranoto juga memiliki pandangan serupa yaitu menggunakan istilah hak-hak dasar manusia. Hampir sama dengan pandangan sebelumnya, Marbangun Hardjowirogo menggunakan sebutan hak manusia. Sedangkan, A.S.S Tambunan mengatakan kemungkinan penggunaan istilah hak-hak manusia itu dipengaruhi oleh Muhammad Yamin yang pada tahun 1950 untuk pertama kalinya menerjemahkan human rights dengan hak asasi kemanusiaan.
Secara umum para sarjana mengemukakan ada enam jenis hak yaitu: hak-hak asasi pribadi, hak-hak asasi ekonomi, hak-hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak-hak asasi politik, hak-hak asasi sosial dan kebudayaan, dan hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan dalam tata cara peradilan dan perlindungan.49 Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan HAM adalah: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (tersirat di dalamnya adalah hak yang melekat pada diri manusia yang menerima status sebagai prajurit).
Secara historis riwayat perjuangan untuk mengukuhkan gagasan tentang HAM sudah dimulai jauh sebelum ditandatangani Magna Charta pada tahun 1215. Perkembangan HAM selanjutnya dengan ditanda tanganinya Petetion of Rights pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Perjuangan yang lebih nyata dari HAM adalah ditanda tanganinya Bill of Rights oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari Glorius Revolution. Dikatakan demikian, bukan saja karena peristiwa itu merupakan kemenangan parlemen atas Raja, akan tetapi ditandai pula terutama oleh rentetan peristiwa pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu sendiri yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya.
Menurut pandangan Thomas Hobbes, HAM merupakan jalan pintas terhadap situasi hommo homini lupus bellum omnium comtra omnes (situasi yang mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dimana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa). Karena itu pandangan Thomas Hobbes ini disebut sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarkhi absolut. Sedangkan, John Locke berpendapat sebaliknya yaitu tidak secara absolut manusia harus menyerahkan hak-hak individualnya.
Di Amerika Serikat, timbulnya perjuangan HAM dipelopori oleh rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai emigran yang merasa tertindas oleh pemerintah Inggris. Sedang di Perancis, pada abad ke-17 dan ke-18. Berkembang pemerintahan raja yang absolut sehingga menimbulkan berbagai reaksi. Sebagai reaksi terhadap absolutisme ini Montesquieu kemudian menemukan teorinya yang terkenal sebagai Trias Politica (dalam bukunya L’esprit des lois). Montesquieu berpendapat kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan ketiganya harus dipisahkan baik dari organ maupun fungsinya untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan ditangan satu orang. Dipengaruhi pemikiran Locke dan Mountesquieu serta pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil, maka Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Kemudian, tanggal 28 Agustus 1789 ditetapkan Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan warga negara; Declaration des droit de L’homme et du citoyen, dan pada tanggal 13 September 1789 lahirlah Konstitusi Perancis Pertama.
Kejadian penting lainnya yang menandai perkembangan tentang HAM adalah kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II atas Jepang, Jerman dan Italia. Pada waktu itu pemerintah Jepang, Jerman dan Italia tidak mengindahkan HAM bahkan dengan sengaja menginjak-injaknya. Setelah Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disepakatilah suatu Universal Declaration of Human Right (UDHR) di Paris pada tahun 1948. Dengan telah dikukuhkannya UDHR, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan yang terjadi di suatu negara. Hal ini mendorong PBB mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat bagi seluruh dunia. Tidak kurang dari delapan belas tahun lamanya, PBB berhasil melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Covenant on Civil and Political Rights. Keduanya, dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas Declaration of Human Rights, sehingga secara yuridis meratifikasi ke dua covenant tersebut bukan saja menyebabkan negara yang meratifisirnya menjadi terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap dunia atas perjuangan HAM.
Sumber : buku Hak Memilih TNI dalam pemilu by Dr I Nengah Kastika, S.H, MH