Politik Lokal Setelah Reformasi
- 01 June 2022
Reformasi tidak menjamin akan berlangsungnya sistem birokrasi yang demokratis. Namun sebagai bangsa yang memiliki kepercayaan, sudah sepantasnya bangsa Indonesia mempunyai keyakinan yang kuat. Suatu ketika akan datang semangat baru yang akan membawa bangsa Indonesia menuju peradaban yang maju dan memiliki kebudayaan yang tinggi.
Lebih dari sepuluh tahun perjalanan otonomi daerah di Indonesia, menunjukkan belum terjadinya perubahan yang sangat signifikan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mencapai dua tujuan utama, yakni; meningkatkan kesejahteraan lokal dan mendukung proses pendidikan politik di tingkat daerah. Namun sangat disayangkan bahwasanya sampai saat ini kedua tujuan tersebut belum dapat terpenuhi dengan baik.
Tujuan kesejahteraan adalah untuk memosisikan daerah sebagai medium untuk menciptakan kesejahteraan pada tingkat lokal yang nantinya akan menjadi penyumbang terbesar terhadap peningkatan kesejahteraan nasional. Kualitas pelayanan yang tidak kunjung memberi perubahan telah mengindikasikan bahwa sistem yang ada harus diperbarui, salah satunya melalui evaluasi kinerja aparatur. Hasil evaluasi dari Litbang Kompas 28 april 2008 dari responden berjumlah 1139 orang diambil dari 33 ibu kota provinsi sebagai berikut:
1. Sebanyak 52% responden menyatakan otonomi daerah belum mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
2. Sebanyak 60% responden mengatakan keamanan menjadi lebih baik.
3. Masalah kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang paling mendesak untuk diatasi oleh pemerintah daerah.
4. Sebanyak 73% responden menyatakan bahwa janji kepala daerah tidak dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan.
Berbicara mengenai tujuan kesejahteraan dari kebijakan Otonomi Daerah adalah berarti berbicara tentang indeks pembangunan manusia (Human Development Indeks) yang masih menunjukan pringkat ke 107 dari 179 negara yang disurvei oleh UNDP pada tahun 2011. Indeks pembangunan manusia diukur dari 3 (tiga) variable utama yaitu tingkat kesehatan, pendidikan dan penghasilan masyarakat. Dasar tolak ukur dari variable tersebut adalah pada pelayanan publik yang dinikmati oleh masyarakat. Variable pendidikan dan kesehatan dikatakan meningkat apabila penyediaan pelayanan dasar (basic service) kepada masyarakat terlihat ada perbaikan, sedangkan variable penghasilan berasal dari pelayanan aspek perekonomian bagi masyarakat.
Konstalasi politik di daerah tidak selalu demokratis, karena daerah tidak terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Misalkan, ketika pemerintah menanggapi permintaan pembentukan suatu daerah baru (pemekaran), maka segala ketentuannya sangat bergantung pada pemerintah pusat mengenai sejauh mana kekuasaan pemerintah tersebut akan diberikan kepada daerah dan menjadi isi rumah tangga daerah otonomi. Semua bergantung pada bagaimana cara merangkai komitmen kerjasama dengan para elit politik di tingkat pusat.
Sebuah negara yang menganut paham sentralistik, sedikit kekuasaan atau kewenangan pemerintah yang diberikan kepada daerah. Sebaliknya kepada negara yang menganut paham desentralistik, ada kecenderungan daerah diberikan kewenangan yang luas untuk menagani urusan pemerintah yang bersifat lokal dengan eksternalitas lokal yang bertujuan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat sehingga mudah untuk meminta akuntabilitas pemerintah daerah dibandingkan meminta akuntabilitas tersebut kepada pusat yang jauh dari masyarakat.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pada tataran eksekutif dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri. Menteri dalam negeri adalah pembantu presiden dalam menangani setiap urusan di dalam negeri yang bersifat umum, termasuk segala sesuatu yang berurusan dengan otonomi daerah. Pada sisi lain menteri teknis yang sebagian kewenangannya diserahkan kepada daerah mempunyai kewajiban membina dan mengawasi yang bersifat teknis ke daerah. Dari konstruksi tersebut kita bisa melihat bahwa menteri dalam negeri atas nama presiden menjadi koordinator bagi menteri teknis dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah agar proses pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan dengan optimal dan terkendali.
Analisa Masalah di Daerah
Upaya-upaya untuk memahami permasalahan yang ada di daerah sebenarnya sudah sangat lama dilakukan dimana dengan menjaring aspirasi masyarakat yang saat ini hampir semua kabupaten ikut menerapkannya. Hasil dari jaring aspirasi ini tidak hanya dipergunakan untuk membuat renstra kabupaten. Namun, juga sebuah acuan dalam menetapkan perangkat-perangkat kelembagaan di daerah. Sebagai contoh, hampir semua kabupaten mempunyai permasalahan rendahnya sumberdaya manusia, oleh karena itu diperlukan sebuah dinas yang melakukan pelayanan terhadap sektor pendidikan, atau contoh yang lain adalah bahwa hampir semua kabupaten memiliki permasalahan tentang kemiskinan, apakah kehadiran sebuah dinas yang secara khusus menangani masalah kemiskinan (dinas mengatasi kemiskinan) juga menjadi sebuah alternatif yang mungkin dalam pembentukan perangkat organisasi (kelembagaan)?
Permasalahan yang dimiliki kabupaten ada yang bersifat umum, artinya permasalahan tersebut hampir semua kabupaten memilikinya. Pendidikan, kemiskinan, pengangguran, kesehatan masyarakat, dan sebagainya, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut maka diperlukan strategi dan perangkat organisasi untuk menjalankan strategi tersebut yakni dinas-dinas. Namun, setiap kabupaten juga memiliki permasalahan-permasalahan yang khas yang tidak dimiliki kabupaten lain. Bencana alam seperti tanah longsor atau banjir tidak semua kabupaten memiliki permasalahan seperti itu, atau yang baru-baru terjadi di aceh, gempa dan Tsunami misalnya, sebuah persoalan yang tidak semua kabupaten memilikinya, sehingga diperlukan dinas khusus yang sesuai dengan persoalan- persoalan khas daerah setempat.
Bagaimana agar masalah tersebut bisa dengan tepat mencerminkan kebutuhan dari komunitas (masyarakat), tidak ada cara lain kecuali melibatkan masyarakat dalam proses analisa terhadap permasalahan tersebut (Alexsander Abe, 2005). Hal itu dilakukan agar data yang dihimpun benar-benar merupakan apa yang dirasakan dan apa yang menjadi keprihatinan dari masyarakat. Tidak semua apa yang disampaikan masyarakat harus diterima, justru pada saat membicarakan dengan masyarakat itu adalah momentum untuk bersama-sama untuk memilah mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Suatu keinginan tentu memiliki kadar subjektivitas yang tertinggi dan cenderung dan tanpa batas yang jelas. Oleh sebab itu yang menjadi prioritas hendaklah untuk menjawab kebutuhan- kebutuhan dasar dari masyarakat.
Teknik Pengorganisasian dengan Pendekatan Tujuan Teknik ini lebih melihat organisasi sebagai suatu kebutuhan yang dapat menunjukan keefektifannya baik produk (product) ataupun pelayanannya (service). Secara urut teknik pengorganisasian dengan pendekatan tujuan sebagai berikut:
Pertama: Analisis ketidakefektifan organisasi, pada langkah ini fokusnya pada pentingnya tujuan sebagai kriteria penilaian keefektifan organisasi. Tujuan organisasi dianalisis untuk menemukan ketidakefektifannya dari peristiwa yang muncul sebagai langkah pertama.
Kedua: Rumusan tujuan, setelah ditemukan ketidakefektifan organisasi sebagai masalah organisasi, maka dirumuskan tujuan untuk menanggulangi atau menghilangkan masalah tersebut.
Ketiga: Rumusan gambaran keadaan sekarang, akan menerjemahkan kenyataan yang sebenarnya adanya ketidakefektifan organisasi, gambaran keadaan sekarang harus mengambarkan keadaan secara jelas kenyataannya yang sebenarnya dari ketidakefektifan organisasi yang meliputi kenyataan-kenyataan, fakta, maupun data-data yang sebenarnya.
Keempat: Identifikasi kemudahan dan hambatan, merupakan kegiatan kunci agar kemudahan-kemudahan agar hambatan-hambatan yang ditemukan dapat dicari strategi untuk mengembangkan serangkaian kegiatan nyata dalam menanggapi atau menanggulangi ketidakefektifan organisasi.
Kelima: Mengembangkan serangkaian kegiatan, merupakan kegiatan-kegiatan yang dikembangkan hendaknya merupakan pengobatan atau penyembuhan.
Pemerintah daerah perlu memiliki kepekaaan dan kemampuan dalam memahami secara benar tugas pokok dan fungsi dari pemerintah daerah. Apa yang dimaksud dengan pemahaman mengenai tugas pokok dan fungsi, tentu bukan pemahaman yang bersifat artifisial melainkan yang subtansial dimana masyarakat merasa nyaman ketika berhadapan denagan pemerintah lalu kemampuan pemerintah daerah dalam menyusun prioritas pengembangan infrastruktur dan prioritas pembangunan dan memberikan layanan serta kemampuan menyusun standar kelayanan sehingga komunikasi politik dengan masyarakat memperoleh masukan yang produktif berkaitan dengan arah pembangunan.
Kebijakan pelayanan publik perlu dievaluasi secara rutin untuk disesuaikan dengan perkembangan lingkungan kebijakan berdasarkan feed back dan stakeholders. Analisa kebijakan dapat dipergunakan sebagai suatu strategi untuk melihat kesesuaian model dan substansi kelayanan publik dengan tuntutan kebutuhan stakeholders. Sehubungan dengan implementasi kebijakan pelayanan publik, perlu dilihat pula perbandingan doktrin new public management yang termasuk dalam paradigma post-bureau-cratic, dan pergeserannya menjadi new public service (keban, 2004:34).
Pembentukan Badan Pelayanan Terpadu (one stop service) diharapkan akan menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terutama pemerintah di Kabupaten Sragen, bahkan rasa bangga terhadap pemerintahannya sendiri dan secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap pemerintah Kabupaten Sragen dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah di seluruh dunia berusaha memanfaatkan teknologi informasi (TI) secara umum, khususnya Internet, untuk meningkatkan administrasi pemerintahan dan kualitas komunikasi dengan warga negara. TI menawarkan peluang kepada pemerintah untuk memberikan layanan dan berinteraksi yang lebih baik kepada semua konstituen warga negara, kalangan bisnis, dan mitra pemerintah lainnya (Chen, 2002; West, 2006). Adopsi e-government meningkat dari tahun ke tahun di sebagian besar negara di dunia. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, kecepatan adopsi berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya. Secara umum, negara berkembang, termasuk Indonesia, tertinggal dalam adopsi e-government dibandingkan dengan negara-negara maju. Berdasar survei e-government global, Indonesia berada pada posisi 183 dari 208 negara (West, 2006).
Global e-Government Readiness Report yang dikeluarkan oleh PBB menempatkan Indonesia pada nomor 97 dari 191 negara. Indeks kesiapan (readiness) ini diukur dengan mempertimbangkan ukuran terkait dengan Internet, infrastruktur telekomunikasi, dan indeks modal manusia (human capital) (United Nations, 2005). Disparitas serupa antarnegara juga tersebut terjadi antar kabupaten/kota di Indonesia dengan berbagai alasan, seperti faktor manajemen, infrastruktur, dan sumberdaya manusia yang berbeda-beda antara kabupaten/kota. Keberhasilan implementasi e-government di Sragen memunculkan pertanyaan tentang faktor pendukungnya. Keberhasilan tersebut tidak bisa lepas dari kepemimpinan politik yang kuat dan visi yang jelas, pelibatan semua pihak, penyiapan sumberdaya manusia yang seksama, strategi implementasi bertahap, pembangunan kemitraan dengan pihak eksternal, dan evaluasi yang dilakukan dengan baik. Pelajaran ini dapat sangat bermanfaat untuk berkembang dengan kondisi serupa.
Refrensi Bacaan Buku Reformasi Birokrasi Di Nusantara Karya Prof. Dr. Soesila Zauhar, Ms