Mohammad Natsir Sebagai Birokrat
- 08 May 2022
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.”
Upaya tokoh-tokoh pergerakan bangsa se jak awal abad ke-20 dalam mempersatukan rakyat yang majemuk dan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau, bukanlah pekerjaan mudah. Usaha melepaskan Tanah Air Indonesia dari be lenggu penjajahan telah melahirkan nama-nama para pejuang bangsa. Mulai para perintis kemerdekaan, yakni Tuanku Imam Bonjol, Tjut Nyak Dien, Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sultan Mahmud Badaruddin II, dan lain-lain. Diteruskan oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan seperti K.H. Ahmad Dahlan, H.O.S. Tjokroaminoto, dan K.H. Hasyim Asy‘ari. Selanjutnya disempurnakan oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Mohammad Roem, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Boerhanuddin Harahap, dr. Soekiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Panglima Besar Sudirman, Hamengkubuwono IX, K.H. Masykur, Mohammad Natsir, dan puluhan nama lainnya. Mereka semua telah kembali ke haribaan-Nya. Tinggallah jasa dan perjuangan mereka untuk dikenang dan diteladani. Kemerdekaan yang telah mereka wariskan dengan mengorbankan segala yang mereka miliki, baik tenaga maupun harta, bahkan jiwa sekalipun, haruslah dipertahankan dan diisi dengan sebaik-baiknya oleh para generasi penerus bangsa.
Dari sekian banyak nama pahlawan di atas (dan yang tidak di sebutkan), hampir 90% adalah pejuang Muslim. Akan tetapi, peranan mereka, termasuk umat Islam secara umum, sangat dikecilkan dalam penulisan sejarah Indonesia. Menurut Dr. Taufik Abdullah, ahli sejarah terkemuka, “Hal itu disebabkan oleh cara pandang kesejarahan kita yang masih dikerangkeng dendam. Sebaliknya, ahli sejarah Muslim masih sedikit jumlahnya dan belum terlatih dalam menulis”.
Pendapat ini didukung oleh Mr. Hamid Algadri. Menurutnya, “Politik pemerintah kolonial Belandalah yang memecah belah bangsa Indonesia melalui pertentangan antarsuku dan aliran untuk menghancurkan Islam.”2 Ironisnya, ahli-ahli sejarah Muslim dewasa ini sebagian besar memperoleh bahan-bahan dan terpengaruh oleh referensi-referensi yang dibuat sejarahwan- sejarahwan Belanda yang ingin menutupi peranan dan perjuangan umat Islam.
Mohammad Natsir, satu di antara sekian banyak tokoh pejuang Islam yang tak tertoreh berimbang dalam sejarah Indonesia, terutama sejarah politik Indonesia. Dia menjadi korban penulisan sejarah. Perjalanan kehidupan Natsir yang bersinar cemerlang melewati batas-batas teritorial Indonesia, ternyata berwarna kelam di negeri yang diperjuangkannya. Padahal, Natsir adalah pribadi yang penuh integritas. Pengabdiannya kepada bangsa Indonesia begitu besar.
Dia telah memberikan sumbangan besar bagi bangsanya dalam posisinya sebagai cendekiawan-budayawan, tokoh politik dan negarawan, serta pemimpin umat Islam sekaligus. Kajian ini akan mengungkapkan peranan, disertai dengan uraian latar belakang dan akibat dari peranan politiknya itu. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 1, aktivitas politik Natsir dimulai saat dia menjadi Ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung pada awal 1940.
Dia aktif pula dalam kepemimpinan Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi-organisasi sosial dan politik Islam yang didirikan tanggal 21 September 1937 di Surabaya. MIAI ini diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada masa pendudukan Jepang. Pada 1942-1945, Natsir dipercaya menjadi Kepala Biro Pendidikan Kota Madya Bandung (Bandung Syiakusyo). Ketika Masyumi mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta yang diresmikan pada 18 Juli 1945, Natsir ditunjuk sebagai Sekretaris STI. Adapun Ketua STI adalah Drs. Mohammad Hatta dan Rektornya K.H. Abdul Kahar Muzzakar.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, Natsir berada di Bandung. Namun, saat rapat pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang merupakan perwujudan sementara Majelis Per musyawaratan Rakyat (MPR), di Gedung Komidi Pasar Baru Jakarta pada 29 Agustus 1945, Natsir secara “tak sengaja” menjadi anggota dan ikut menghadiri rapat. Dalam sidang pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP pada 25 November 1945, Natsir ditunjuk sebagai anggota. Natsir menjadi anggota KNIP, selanjutnya BP-KNIP, sampai diangkat menjadi Menteri Penerangan RI.
Sumber Bacaan Buku Mohammaad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia Karya M.Dzulfikriddin