Tanah-tanah hak ciptaan Pemerintah Swapraja
- 12 December 2021
Pemerintah Swapraja yang paling tepat menjadi acuan dalam hal ini adalah Pemerintah Swapraja di Sumatera Timur serta di wilayah vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Di Sumatera Timur yakni di Kesultananan Deli dikenal 4 (empat) jenis hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja, yakni:28
- Grant Sultan,29 yakni semacam hak milik adat, yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus kepada para kaula swapraja, didaftar di Kantor Pejabat Swapraja;
- Grant Controleur,30 diberikan oleh Pemerintah Swapraja bagi yang bukan kaula swapraja (Eropa, Timur Asing, dan Indonesia kaula Gubernemen), didaftar di Kantor Controleur (Pejabat Pangreh Praja Belanda);
- Grant Deli Maatschappij, Sultan Mamoen Alrasjid Perkasa Alamsjah memberikan semacam hak erfpacht kepada Deli Maatschappij. Deli Maatschappij adalah suatu perusahaan yang mempunyai perkebunan besar tembakau dan bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah, memperoleh tanah yang luas dari Pemerintah Swapraja dengan grant. Tanah tersebut dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh Deli Maatschappij juga dengan grant yang merupakan “sub-grant”, dikenal dengan sebutan ‘Grant D’ (‘Grant Deli Maatschappij);
- Hak Konsesi, untuk perusahaan kebun besar, diberikan oleh Pemerintah Swapraja dan didaftar di Kantor Residen.
Dengan demikian, kewenangan Sultan Deli menciptakan keempat pranata/lembaga hukum hak atas tanah di Kesultanan Deli itu adalah dalam kapasitas Sultan sebagai Kepala Pemerintahan Swapraja. Khusus mengenai hak konsesi, Mochammad Tauchid menyatakan: “pemberian konsesi untuk pertanian dan hutan (landbouw – dan bosch consessie) ada yang oleh Radja (Kepala Swapraja) dengan persetujuan Pemerintah, dan ada pula yang oleh Pemerintah dengan persetujuan Radja (Swapraja Bima dan Dompo).” Pemberian tanah konsesi di Sumatera Timur dilakukan oleh Raja dengan persetujuan Hoofd van Gewestelijk Bestuur (Kepala Pemerintahan Daerah, Residen).
Di daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang dulu disebut ‘Vorstenlanden’, lahirnya hak-hak atas tanah harus dikaitkan dengan konsepsi atau falsafahnya, yakni semua tanah adalah milik Raja. Rakyat hanyalah sekedar memakainya ‘anggaduh’. Namun, setelah reorganisasi yang di Yogya dimulai 1914 dan di Surakarta dimulai 1918, Raja memberikan tanahnya (kaparingake gumaduh salawas-lawase – Surakarta; wewenang penggaduh atau wewenang andarbeni-Yogyakarta) dengan hak milik komunal kepada kelurahan-kelurahan. Kepada rakyat diberi Hak Pakai turun-temurun atas 4/5 bagian dari sawah dan tegalan dari suatu kelurahan, sedang yang 1/5 bagian disediakan untuk jabatan, tanah pengarem-arem dan tanah kas desa. Di Surakarta, Raja (dalam hal ini Sri Sunan) juga memberikan hak gaduh, termasuk juga tanah-pancen beliau yang disebut tanah norowito, kepada keluarga dan hambanya (abdi dalem).
Sebagaimana diketahui di Yogyakarta, hak kalurahan seyogianya “lebih kuat” daripada hak perseorangan yang diberikan bagi penduduk yang tinggal di kalurahan itu. Bagi kalurahan diberikan hak andarbe (bezits recht), sedangkan bagi penduduk diberikan hak anggaduh (gebruiksrecht). Sangat menarik untuk dicermati perkembangan sikap Pemerintah D.I. Yogyakarta terhadap hak yang diperoleh oleh penduduk, karena kemudian hak penduduk mengalami penguatan. Berdasarkan Pasal 4 Rijksblad Kasultanan tahun 1918 No. 16 dan Rijksblad Pakualaman tahun 1918 No. 18, hak di atas tanah bagi penduduk di dalam kalurahan adalah hak anganggo turun-temurun (hak memakai yang dapat diwariskan/erfelijk individueel gebruiksrecht). Namun, kenyataannya kemudian penduduk di atas tanahnya tidak hanya terbatas pada “hak memakainya”, tetapi dapat mengalihkan hak-haknya kepada pihak lain (asal tidak bangsa asing). Oleh karena itulah, maka setelah Indonesia merdeka dan Kasultanan serta Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, ditetapkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam Pasal 4 Perda tersebut dinyatakan, antara lain, “D.I. Yogyakarta memberi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk individueel bezitsrecht) atas sebidang tanah kepada warganegara Republik Indonesia, selanjutnya disebut hak milik.” Apabila hak milik itu di dalam waktu sesudah 10 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (geabandonneerd) oleh pemiliknya dipertangguhkan (digantung), dan jika 20 tahun lagi tidak ada dari yang berhak, hak milik atas tanah tersebut batal.
Sitorus Oloan & Puri H. Widhiana. Hukum Tanah. STPN 2014