HUKUM SEBAGAI PARTISIPASI DALAM GAGASAN TENTANGKEADILAN
- 22 July 2022
Di era pencerahan sofistik, filsafat hukum Yunani menemukan problema tentang hukum dan alam, tentang nomos dan physis. Pada mulanya nomos merupakan adat kebiasaan sakral, yakni yang diberlakukan dan dianggap benar di polis (negara kota Yunani Kuno). Ini merupakan aturan hukum yang mencakup se- galanya. Penyair Pindar memberikan rumusan yang menyeluruh, nomos basileus pantom: hukum dari adat sakral ini dijelaskan sebagai penentu atas segala sesuatunya. Namun meredupnya keimanan yang melandasi pendapat ini secara berangsur mengakibatkan memburuknya nomos. Doktrin kaum Sofis, terutama doktrin Protagoras, bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu, mengemukakan bahwa nomos kini lebih tampak dalam perspektif kebiasaan di satu sisi, dan undang-undang di sisi lain. Orang mungkin bertanya-tanya mengapa nomos tidak ditafsirkan begitu saja sebagai sekumpulan kebiasaan khas pada tiap komunitas polis tertentu. Apa pun penjelasannya, gagasannya sepertinya ialah bahwa hukum sebagai aturan masyarakat merupakan ciptaan manusia dan sebuah ciptaan yang sesuai dengan wataknya, bahwa manusia pada dasarnya memiliki watak yang sama, dan karena itu nomos sangatlah berarti bagi semua manusia. Ini merupakan satu pendekatan yang mungkin dilakukan. Bagaimanapun, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi) sangatlah penting untuk menata polis. (‘Polis’ acap kali dialih bahasakan menjadi “negara”, sebuah istilah modern yang sangat menyimpang bila diterapkan pada tatanan politik Yunani.) Sejalan dengan keyakinan mereka, kita mendapati bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik (politeiai) selalu berupa aturan hukum, yakni aturan yang sesuai hukum. Filsafat hukum Aristoteles dalam banyak hal terkait dengan filsafat hukumnya Plato, terutama konsekuensi praktis bagi hukum dan negara.
Sebagaimana dalam Plato, tugas pendidikan hukum dan perundangan sangatlah penting, namun jika kita cermati, ada perbedaan yang sangat penting antara Aristoteles dan Plato. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan antara metafisika Aristotelian dan Platonian, dan lebih khususnya dengan doktrin Aristotelian mengenai penyebab (causes) dan gagasan tentang telos atau tujuan akhir yang kental dengan warna Aristoteles. Hingga kini telah diajukan sejumlah interpretasi yang sangat berbeda mengenai hal ini. Menurut hemat saya, doktrin mengenai empat penyebab merupakan kunci untuk memahami gagasan tentang telos. Lebih khususnya, telos janganlah dicampuradukkan dengan bentuk (form) atau gagasan (idea), kendati pencampuradukkan itu nyaris dianjurkan di beberapa bagian. Pada kenyataannya, tidaklah sepenuhnya benar bila telos disebut sebagai tujuan akhir, karena dalam semua makhluk hidup ekspresi “tujuan”, yang sepertinya mensyaratkan kehendak tersadari atas tujuan, tidak dapat digunakan tanpa secara bersamaan memunculkan problema sang khalik pencipta dunia.
Sumber Bacaan Buku Sejarah Hukum Dan Hukum Sebagai Faktasejarah Karya Carl Joachim Friedrich