HUKUM RESPONSIF
- 22 July 2022
Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome Frank, tujuan utama kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.”
1. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan “bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum,”
2. sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindak- an resmi para aparat hukum. Seperti halnya realisme hukum, sociological jurisprudence (ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologis) juga ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum “untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas memper- timbangkan fakta sosial yang di situ hukum tersebut berproses dan diaplikasikan.”
3. Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil; hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.
Tradisi kaum realis dan sosiologis ini memiliki satu tema utama: menjebol sekat-sekat pengetahuan hukum. Ada penghargaan tinggi kepada semua hal yang mem- pengaruhi hukum dan yang menjadi persyaratan bagi efektivitasnya. Dari titik tersebut dimulailah langkah ke arah pandangan yang lebih luas mengenai partisipasi hukum dan peranan hukum. Institusi-institusi hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit terhadap hukum otonom dan menjadi instrumen-instrumen yang lebih dinamis bagi penataan sosial dan perubahan sosial. Di dalam rekonstruksi itu, aktivisme, keterbukaan dan kompetensi kognitif akan berpadu menjadi tema-tema dasar.
Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif dapat dipahami sebagai tiga respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya, dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.
Tipe hukum yang ketiga berusaha untuk mengatasi ketegangan tersebut. Kami menyebutnya responsif, bukan terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal ini, hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan di antara keduanya.
Sumber bacaan buku Hukum Responsif Karya Philippe Nonet