HUKUM SEBAGAI KEHENDAK TUHAN
- 22 July 2022
Yudaisme kuno berperan sangat besar dalam membentuk asal-muasal konsep hukum Barat.
1. Karena Tuhan yang Esa menunjukkan diriNya secara sangat berbeda dari dewa-dewi Yunani. Yahwe, dewa tanpa nama Israel, dibedakan dari dewa-dewi masyarakat lain di sekelilingnya berdasarkan perhatiannya terhadap hukum. Perjanjian Lama berisi tindakan penetapan perundangan, dengan upaya Tuhan untuk menjaga ditaati dan diberlakukannya hukum ini, dengan pahala bagi orang yang bertindak sesuai, dan hukuman bagi orang yang bertindak tidak sesuai, dengan hukum ini. Semua tahu bahwa dua kewajiban umat Nasrani didapatkan dari warisan tradisi ini. Di satu sisi, Sepuluh Perintah Ilahi; di sisi lain, larangan kepatuhan membabibuta terhadap hukum, yaitu farisaisme atau tindak sok suci. Dalam Sociology of Religion, Max Weber menunjukkan betapa eratnya kaitan antara pendapat pendeta di Israel kuno dengan tuhan yang ini, yakni sang pembuat hukum. Bahkan, keyakinan itu sendiri berkembang dari pendapat pendeta sebagai penafsir hukum.
2. Sudah seringkali diamati betapa luar biasa kuatnya pengaruh konsepsi religius ini terhadap pemikiran Barat dan sejauhmana konsepsi itu membentuknya.
3. Kaitannya begitu nyata dalam pemikiran Calvinisme dan Puritanisme. Tentunya bukan kebetulan jika Calvin sendiri berprofesi sebagai praktisi, atau ahli hukum. Karena hukum sangat perlu menanamkan kewajiban norma- nya ke dalam suatu keyakinan mengenai legitimasi kekuasaan yang menciptakan hukum, entah itu Tuhan ataupun amanat rakyat. Arti penting norma hukum dalam kehidupan sosial akan selalu dipengaruhi oleh keyakinan terhadap legitimasi pemerintah yang memberlakukannya dan siapa yang menciptakannya. Nomos (hukum) dan jus (undang-undang) Yunani dan Romawi diberlakukan selama keyakinan dalam masyarakat polis masih ada, karena polis dibentuk oleh nomos dan jus lantaran tetap adanya keyakinan manusia terhadap kearifan heroik seorang legislator masa silam, baik itu Solon, Lycurgus, maupun 12 murid Yesus. Namun bagi kaum Yahudi dalam Perjanjian Lama, bukanlah Musa, apalagi para rasul, melainkan Tuhan yang Esa yang berbicara kepada Musa dan menitahkannya untuk menyampaikan Hukum-hukumNya kepada umatNya (Leviticus 19:1-2). Dan umatNya-lah yang menjadi jemaat suci berkat penyampaian wahyu itu lantaran Tuhan yang telah memberi mereka hukum dengan sendirinya merupakan Dzat Yang Maha Suci.
Hukum dan hukuman secara konseptual berakar dari gagasan tentang keadilan. Dan, karena itu, Tuhannya Yudaisme kuno umumnya merupakan dewa keadilan. Dari gagasan utama keadilan dalam pemikiran Yudaisme kuno ini, berkembanglah sikap yang diekspresikan secara mengerikan dalam kutukan Perjanjian Lama. Ketika dihadapkan pada sang hakim sejati, yakni Tuhan, manusia mesti membela dirinya dengan mematuhi hukum, dan dia harus menebus dosa-dosanya dengan hukuman yang setimpal. Paulus pada akhirnya menekankan jenis keadilan ini melalui ampunan Kristus dengan doktrin penebusan dosa. Karena lagi- lagi Kristus lah yang mewujudkan semua tempat penting yang meliputi kepatuhan terhadap Tuhan yang Esa, kehendakNya, dan hukumNya, dengan mengambil tempat orang-orang yang membangkang. Karena itu, dalam konteks yang menentukan ini, kita sekali lagi melihat pentingnya tradisi Yahudi tentang Tuhan yang maha adil yang menciptakan hukum, karena, jika tidak ada hukum, penebusan akan kehilangan maknanya yang sejati. Bukan rahasia lagi bahwa jenis keadilan yang ditekankan oleh Paulus ini di kemudian hari menjadi sangat penting dalam teologi Luther dan Calvin, yang dengan demikian menunjukkan luar biasa pentingnya pemikiran hukum Perjanjian Lama bagi gagasan hak dan keadilan Barat.
Sumber Bacaan Buku Sejarah Hukum Dan Hukum Sebagai Faktasejarah Karya Carl Joachim Friedrich